Kerangka Berfikir Irfani
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tinjauan analitis terhadap tasawuf menunjukkan bahwa para sufi dengan
berbagai aliran yang dianutnya memiliki suatu konsepsi tentang jalan (thariqat)
menuju Allah. Jalan ini dimulai dengan latihan-latihan rohaniah (riyadah), lalu
secara bertahap menempuh berbagai fase, yang dikenal dengan maqam (tingkatan)
dan hal (keadaan), dan berakhir dengan mengenal (ma’rifat) menjadi jargon yang
umumnya banyak dikejar oleh para sufi.
Kerangka sifat dan perilaku sufi diwujudkan melalui amalan dan metode
tertentu yang disebut thariqat, atau jalan untuk menemukan pengenalan
(ma’rifat) Allah. Lingkup perjalanan menuju Allah untuk memperoleh pengenalan
(ma’rifat) yang berlaku di kalangan para sufi sering disebut sebagai sebuah
kerangka irfani.
B. Rumusan Masalah
1.
Apa yang dimaksud dengan tasawuf irfani?
2.
Apa yang dimaksud dengan ahwal dan maqamat dalam tasawuf?
C. Tujuan
1.
Memahami arti dari tasawuf irfani
2.
Mengetahui ahwal dan maqamat dalam tasawuf
BAB II
PEMBAHASAN
A. KERANGKA
BERPIKIR IRFANI
1.
Tasawuf
Irfani
Tasawuf
Irfani adalah tasawuf yang berusaha menyingkap hakikat kebenaran atau makrifat
yang diperoleh dengan tidak melalui logika atau pemebelajaran atau pemikiran,
tetapi melalui pemberian Tuhan (mauhibah).
Ilmu itu diperoleh karena seorang sui berupaya melakukan tasfiyat al-Qalb. Dengan hati yang suci seseorang dapat berdialog
secara batiniah dengan Tuhan, sehingga pengetahuan atau makrifat dimasukkan
Allah ke dalam hatinya (qalb).[1]
Dalam
dunia tasawuf, qalb merupakan alat pengetahuan tentang hakikat, termasuk di
dalamnya hakikat makrifat. Qalb yang dapat memperoleh makrifat adalah qalbu
yang telah suci dari berbagai noda atau akhlak buruk yang sering dilakukan
manusia.
Karena
qalb merupakan bagian dari jiwa, kesucian jiwa sangat mempengaruhi
kecemerlangan qalb dalam menerima ilmu. Qalb yang telah suci akan mampu
menembus alam malakut dan menerimailmu pengetahuan dari Tuhan serta mampu
berdialog dengan-Nya secara spiritual (bathiniyyah). Ilmu pengetahuan yang
dihasilkan dari kondisi dialogis bathiniyyah dengan perangkat qalb yang suci
inilah mereka sebut sebagai ilmu makrifat, dan secara spesifik dapat memperoleh
ilmu ladunni, yakni ilmu yang datang secara langsung dari Tuhan melalui ilham
yang dibisikkan ke dalam hati manusia.[2]
Murtadha
Muthahhari berpendapat bahwa ‘irfan sebagai
sebuah ilmu, memiliki dua aspek; praktis dan teoritis. Aspek praktis ‘irfan adalah bagian yang menjelaskan
hubungan dan pertanggungjawaban manusia terhadap dirinya, dunia dan Tuhan.
Bagian ini menjelaskan bagaimana seorang salik
mengawali perjalanan, menempuh maqamat secara
sistematis, dan keadaan jiwa yang akan dialaminya sepanjang perjalanan
tersebut. Untu tujuan perjalanan ini, menurut Mtaharri, sangatlah penting
dibawah bimbingan guru yang benar-benar telah mengalami sendiri perjalanan ini
dan sangat mengetahui prosedur setiap tahap. Tanpa bimbingan seorang mursyid, bisa jadi si salik malah tersesat. Sedangkan ‘irfan teoritis memfokuskan perhatiannya
pada masala wujud secara ontologis, mendiskusikan manusia, Tuhan serta alam
semesta. Dengan demiian, ‘irfan ini menyerupai teosofi (falsafah ilahi)
yang juga memeberikan penjelasan tentang wujud. Seperti halnya filsafat,‘irfan juga mendeinisikan berbagai
prinsip dan problemnya. Hanya saja kalau saja kalau filsafat mendasarkan
argumentasinya pada prinsip-prinsip rasional, ‘irfan mendasarkan diri pada ketersingkapan mistik yang kemudian
diterjemahan ke dalam bahasa rasional untuk menjelaskannya.
Pemikiran
rasional dalam filsafat dapat dibandingkan dengan kajian atas sebuah tulisan
dalam bahasa aslinya, sementara pemikiran dalam ‘irfan dapat dibandingakan
dengan kajian atas sebuah tulisan yang telah diterjemahkan dalam bahasa aslinya.
Lebih jelasnya, kaum ‘arif ingin menjelaskan apa yang telah mereka lihat dengan
mata hati dengan segenap eksistensi mereka dengan menggunakan bahasa rasional.
Tokoh-tokoh
yang mengembangkan tasawuf ‘irfani
antara lain:
1. Rabi’ah al-Adawiyyah (96H-185H)
2. Dzunnun (180H-246H)
3. Junaidi al-Bagdadi
(297H)
4. Abu Yazi al-Bustami
(200H-261H)
5. Jalaluddin Rumi
6. Ibn ‘Arabi
7. Abu Bakar As-Syibli
8. Syekh Abu Hasan
al-Khurqani
9. ‘Ain al-Qudha
10. al-Hamdani
11. Syekh Najmuddin
al-Kubra dan lain-lainnya.
Ibn
‘Arabi dapat dimasukkan juga ke dalam kelompok sufi ‘irfani, meskipun ada juga pakar tasawuf
yang memasukannya ke dalam kelompok sui falsafi. Dilihat dari karakter
ajarannya yang rasional, para pakar memasukan Ibn ‘Arabi ke dalam kelompok sufi
filosof. Karya-karya rasional Ibn ‘Arabi, meurut pengakuannya, semuanya
merupakan perolehan dari Tuhan melalui intuisi.
Ada
juga juga sebagian karyanya yang merupakan perolehan dari
Rasulullah dalam suatu pertemuan spiritual yang sangat unik, misalnya kitab
Fusus al-Hikam.[3]
“Kalbu dalam pandangan kaum sufi adalah tempat kedatangan
kasyaf dan ilham. Ia pun berungsi sebagai alat untuk ma’rifat dan menjadi
cermin yang memantulkan (tajalli) makna-makna keghaiban.”
Kalbu
yang dapat memperoleh ma’rifat adalah kalbu yang telah suci dari berbagai noda
atas akhlak buruk yang sering dilakukan manusia. Al-Ghazali menyebut penyucian
kalbu dengan tahrir al-qalb, yaitu
menucikan kalbu dari akhlak buruk dan sifat-sifat bahimiyyah (hewan berkaki empat), sehingga yang menjadi pakaian
kalbu adalah sifat-sifat malaikat.
Karena
kalbu merupakan bagian jiwa, kesucian jiwa sangat mempengaruhi kecemerlangan
kalbu dalam menerima ilmu. Kalbu yang telah suci akan mampu menembus alam
malakut (misalnya, alam malaikat). Menurut Al-Ghazali, kalbu merupakan sesuatu
yang sejenis dengan malaikat. Ketika berada di alam malaikat inilah, kalbu
mampu memperoleh ilmu pengetahuan dari Tuhan. Tampaknya kaum sufi memandang
kesucian kalbu sebagai persyarat untuk berdialog secara batiniah dengan Tuhan.
Mereka mengemukakan alasan bahwa Tuhan hanya dapat didekati oleh jiwa yang
suci.
Dengan
demikian, kalbu berpotensi untuk berdialog dengan Tuhan. Inilah yang dimaksud
Al-Ghazali dengan ungkapan bahwa di luar akal dan jiwa, terdapat alat yang
dapat menyingkap pengetahuan ghaib dan hal-hal yang akan terjadi di masa
mendatang.
Dari
pembahasan dan uraian di atas, dapatlah dipahami bahwa hati (kalbu) menjadi
sarana untu memperoleh ma’rifat. Kalbulah yang mampu mengetaui hakikat
pengetahuan, karena kalbu telah dibekali potensi untuk berdialog dengan Tuhan.
Hal ini mengisyaratkan bahwa ma’rifat tidak spntanitas dimiliki sembarang
orang, tetapi hanya dimiliki oleh orang-orang yang telah berupaya untuk
memperolehnya.
Di
samping melalui tahapan-tahapan maqamat dan ahwal, untuk memperoleh ma’rifat,
seseorang harus melalui upaya-upaya tertentu, seperti sebagai berikut ini[4]:
a.
Riyadhah
Riyadhah yang
sering disebut dengan “latihan-latihan mistik” adalah latihan kejiwaan melalui
upaya membiasakan diri agar tidak melakukan hal-hal yang dapat mengotori jiwa.
Riyadhah dapat pula berarti proses internalisasi kejiwaan dengan sifat-sifat
terpuji dan melatih diri untuk meninggalkan siat-siat buruk.
Para sufi menggolongkan riyadhah sebagai
latihan kejiwaan dalam upaya meninggalkan siat-siat buruk termasuk didalamnya
adalah pendidikan akhlak (tarbiyah al-akhlaq) dan pengobatan penyakit hati.
Menurut para sufi untuk menghilangkan penyakit itu, perlu dilakukan riyadhah.
Riyadhah harus
disertai dengan mujahadah, yaitu kesungguhan dalam usaha untuk meninggalkan
sifat-sifat buruk. Meninggalkan perangai buruk merupakan tugas berat, sehingga
membutuhkan kesungguhan dan usaha keras dalam meriyadhahkannya.[5]
Riyadhahperlu
dilakukan untuk memperoleh ilmu ma’rifat yang dapat didapat melalui kebaikan
yang terus menerus. Dalam hal ini, riyadhah berguna untuk menempa jasmani dan
akal budi orang yang melakukan latihan-latihan itu sehingga mampu menangkap dan
menerima komunikasi dari alam ghaib (malakut) yang transendental.
Hal terpenting
dalam riyadhah adalah melatih jiwa melepaskan ketergantungan terhadap kelezatan
duniawi yang fatamorgana, lalu menghubungan diri dengan realitas rohani dan
ilahi. Dengan demikian, riyadhah akan mengantarkan seseorang selalu berada di
bawah bayangan yang kudus.
b.
Tafakur
Tafakur penting
dilakukan bagi mereka yang menginginkan ma’riat. Sebab manakala jiwa belajar
dan mengola ilmu, lalu memikirkan dan menganalisisnya, pintu keghaiban akan
dibukakan untuknya. Menurut Al-Ghazali, orang yang berpikir dengan benar akan
menjadi dzaw al-albab (ilmuwan) yang terbuka pintu kalbunya sehingga akan
mendapat ilham. Dalam Al-Risalah Al-Laduniyyah, Al-Ghazali pun menjelaskan
bahwa tafakur pun merupakan salah satu atau untuk memperole ilmu laduni.[6]
Mengenai
tafakkur ini, Rasulullah saw bersabda:
“Berpikir sesaat
adalah lebih baik daripada ibadah selama enam puluh tahun”.
Al-Ghazali
tampaknya memahami hadis ini dengan maksud berpikir yang teratur dan dengan
syarat-syarat berpikir yang baik. Dalam kaitannya dengan ta’allum rabbani,
metode tafakkur merupakan cara kedua setelah ta’allum. Keduanya memiliki
perbedaan. Ta’allum berlangsung secara “ekstern” dengan melalui proses belajar
yang dilakukan secara lahiriah.
Sedangkan
tafakkur berlangsung secara internal dengan proses pembelajaran dari dalam diri
manusia melalui aktifitas berpikir yang menggunakan perangkat batiniah.
Selanjutnya, tafakur dilakukan dengan mendayagunakan secara maksimal potensi
nafs kulli (jiwa universal). Nafs kulli (jiwa universal) merupakan perangkat
keilmuan yang dapat menghasilkan ilmu, terutama ilmu ma’rifat.
Malik Badri
mengungkapkan bahwa perwujudan tafakkur memiliki dan melalui tiga fase yang
saling terkait, dan berakhir pada fase keempat yang disebut dengan istilah
syuhud. Fase pertama diawali dengan pengetahuan yang didapat dari persepsi
empiris yang langsung melalui alat pendengaran alar raba, atau alat indera
lainnya atau dengan tidak langsung, seperti pada fenomena imajinasi, atau
kadang pengetahuan rasional yang abstrak.
Fase kedua
adalah fase tawadu, yaitu pengungkapan rasa kagum terhadap ciptaan-Nya, fase
inidapat dirasakan baik oleh orang mukmin maupun kafir, tanpa melihat sisi
keimanan atau kekafiran. Akan tetapi pada fase pengetahuan ketiga yang
menghubungkan antara perasaan akan keindahan ciptaan dan kerapian tatanan alam dengan
penciptanya yang maha agung dan maha tinggi, merupakan nimat besar yang hanya
dapat dirasakan oleh orang mukmin.
Jika seorang
mukmin senantiasa dalam kondisi ini, ia akan sampai pada fase keempat, di mana
taakkur menjadi sebuah kebiasaan. Semua yang ada disekitarnya menjadi motivasi
berpikir dan bertafakkur. Pada batas ini, dia sudah sampai pada fase keempat
yaitu fase syuhud atau bashirah.
Menurut Ibnu
Qayyim, seorang yang telah sampai pada tingat berpikir deperti ini akan
dibukakanbaginya pintu untuk menyaksikan keagungan Allah, yaitu merasakan
kemahaperkasaan Allah.
c.
Tazkiyyah
An-Nafs
Secara
etimologi, tazkiyyat adalah mashdar dari kata zakkayuzakki- tazkiyyah, yang
berarti pembersihan atau penyucian.
Sedangkan kata
al-Nafs umumnya diartikan sebgai jiwa atau diri. Padanan atau sinonim yang
mirip dengan pengertian tazkiyyah adalah tathhir yang artinya membersihan. Kata
tathhir konotasinya adalah membersihkan sesuatu yang bersifat material atau
jasmaniah yang bisa diketahui oleh indera-indera manusia.
Misalnya
membersihkan kotoran tangan dari kotoran, baik berupa najis atau noda-noda yang
menempel pada jasmani manusia. Sedangkan kata tazkiyyah konotasinya dalah
membersihan sesuatu yang bersifat non-materi atau psikis. Misalnya membersihkan
pikiran dari angan-angan kotor, nafsu jahat da sebagainya.[7]
Proses penyucian
jiwa dalam kerangka tasawuf ini dapat dilakuan melalui tahapan takhalli
(menghilangkan/mengosongkan diri kita dari akhlak tercela) dan tahalli
(menghiasi diri kita dengan akhlak terpuji). Tazkiyyah al-nafs merupakan inti
kegiatan bertasawu. Kalangan sufi adalah orang-orang yang senantiasa menyucian
hati dan jiwa.perwujudannya adalah rasa membutuhkan terhadap Tuhan.
Upaya melakukan
penyempurnaan jiwa perlu dilakuan oleh setiap orang yang menginginkan ilmu
ma’rifat. Hal ini perlu dilakuan karena ilmu ma’riat tidak dapat diterima oleh
manusia yang jiwanya kotor. Ada lima hal yang menjadi penghalang bagi jiwa di
dalam menangkap hakikat.
Pertama,
jiwa
yang belum sempurna. Kedua, jiwa yang
dikotori perbuatan maksiat. Ketiga,sikap
menuruti keinginan badan. Keempat,
adanya penutup yang menghalangi masuknya hakikat ke dalam jiwa (taklid). Kelima, tidak dapat berpikir logis.
Dibutuhkan upaya untuk menyempurnakan jiwa agar penghalang-penghalang itu
hilang. Dalam konteks inilah, penyempurnaan jiwa dapat dilakukan dengan tazkiyyah al-nafs.
Dengan demiian,
kesucian jiwa adalah syarat bagi masuknya hakiat atau ilmu ma’rifat ke dalam
jiwa. Sementara tu jiwa yang kotor, selalu mengikuti hawa nafsu duniawi dan
membuatnya ter-hijab dari Allah.
d.
Dzikrullah
Secara
etimologi, dzikir berakardari kata dzakara yang artinya mengingat,
memperhatikan, mengenang, mengambil pelajaran, mengenal, atau mengerti;
ingatan.
Dzikir sama
dengan mengingat, sedangkan secara istlah adalah membasahi lidah dengan
ucapan-ucapan pujian kepada Allah. Dzikir merupakan metode lain yang paling
utama untuk memperoleh ilmu laduni. Dzikir dapat dilakukan di mana saja dan
dalam semua keadaan. Dzikir dapat dilakukan dengan hati (dzikir khafi), dengan lidah (dzikir
lisan), dan dengan anggota badan (dzikir
denganperilaku terpuji).
Dalam
Al-Munqidz, Al-Ghazali menjelaskan bahwa dzikir kepada Allah merupakan hiasan
bagi kaum sufi. Syarat utama bagi orang yang menempuh jalan Allah adalah
membersihkan hati secara menyeluruh dari selain-Nya. Sementara itu, kuncinya
adalah menenggelamkan hati secara keseluruhan dnegan dzikir kepada Allah.[8]
Dalam pandangan
sufi, dziir dapat membuka tabir alam malakut, yakni dengan datangnya malaiat.
Dzikir merupakan kunci pembuka alam ghaib, penarik kebaikan, penjinak waswas
dan pembua kewalian. Diir yang berfungsi untuk menyucikan atau membersihkan
hati.[9]
B. Dasar-dasar Filosofi : Ahwal dan Maqomat
1. Maqomat
Secara harfiah, maqamat merupakan jamak dari kata
maqam yang berarti tempat berpijak atau pangkat mulia. Dalam Bahasa Inggris
maqamat dikenal dengan istilah stages yang berarti tangga. Sedangkan dalam ilmu
Tasawuf, maqamat berarti kedudukan hamba dalam pandangan Allah berdasarkan apa
yang telah diusahakan, baik melalui riyadhah, ibadah, maupun mujahadah. Di
samping itu, maqamat berarti jalan panjang atau fase-fase yang harus ditempuh
oleh seorang sufi untuk berada sedekat mungkin dengan Allah. Maqam dilalui seorang
hamba melalui usaha yang sungguh-sungguh dalam melakukan sejumlah kewajiban
yang harus ditempuh dalam jangka waktu tertentu. Seorang hamba tidak akan
mencapai maqam berikutnya sebelum menyempurnakan maqam sebelumnya.[10]
Tentang
berapa jumlah tangga atau maqamat yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk
sampai menuju Tuhan, di kalangan para sufi tidak sama pendapatnya. Namun ada maqamat yang oleh mereka disepakati, yaitu al-taubah,
al-zuhud, al-wara, al-faqr, al-shabr, al-tawakkal dan al-ridla. Sedangkan al-tawaddlu,
al-mahabbah, dan al-ma’rifah oleh mereka tidak disepakati sebagai maqamat.
Terhadap tiga istilah yang disebut terakhir itu (al-tawaddlu, al-mahabbah
dan al-ma’rifah) terkadang para ahli tasawuf menyebutnya sebagai maqamat,
dan terkadang menyebutnya sebagai hal dan ittihad (tercapainya kesatuan wujud
rohaniah dengan Tuhan).[11]
a.
Taubat
Taubat
berasal dari Bahasa Arab taba-yatubu-taubatan yang berarti “kembali” dan
“penyelesalan”. Sedangkan pengertian taubat bagi kalangan sufi adalah memohon
ampun atas segala dosa yang disertai dengan penyesalan dan berjanji dengan
sungguh-sungguh untuk tidak mengulangi perbuatan dosa tersebut dan dibarengi
dengan melakukan kebajikan yang dianjurkan oleh Allah.
Taubat
menurut Dzun Nun al-Misri dibedakan menjadi tiga tingkatan: (1) orang yang
bertaubat dari dosa dan keburukan, (2) orang yang bertaubat dari kelalaian
mengingat Allah dan (3) orang yang bertaubat karena memandang kebaikan dan
ketaatannya. Dari ketiga tingkatan taubat tersebut, yang dimaksud sebagai maqam
dalam tasawuf adalah upaya taubat, karena merasakan kenikmatan batin.Lain
halnya dengan Ibnu Taimiyah. Ia membedakan taubat menjadi dua: taubat wajib dan
taubat sunnah. Taubat wajib adalah taubat karena menyesali perbuatan
meninggalkan perkara-perkara wajib, atau menyesal karena melakukan
perkara-perkara haram. Sedangkan taubat sunnah adalah taubat karena menyesali
perbuatan meninggalkan
perkara-perkara sunnah, atau karena menyesali
perbuatan melakukan perkara-perkara
makruh. Berkaitan dengan dua macam
taubat ini, Ibnu Taimiyah
menjelaskan tingkatan/derajat orang yang bertaubat
menjadi dua. Pertama, al-abrar
al-muqtashidun (orang-orang yang berbakti lagi
pertengahan), yaitu orang-orang yang
melakukan jenis taubat yang pertama, yaitu
taubat wajib. Kedua, as-sabiqun
al-awwalun. Mereka adalah orang yang
melakukan jenis taubat wajib dan
taubat sunnah.[12]
Berkaitan
dengan maqam taubat, dalam al-Qur’an terdapat banyak ayat yang menjelaskan
masalah ini, di antaranya adalah ayat yang berbunyi:
وَٱلَّذِينَ
إِذَا فَعَلُواْ فَٰحِشَةً أَوۡ ظَلَمُوٓاْ أَنفُسَهُمۡ ذَكَرُواْ ٱللَّهَ فَٱسۡتَغۡفَرُواْ
لِذُنُوبِهِمۡ
وَمَن يَغۡفِرُ ٱلذُّنُوبَ
إِلَّا ٱللَّهُ وَلَمۡ يُصِرُّواْ عَلَىٰ مَا فَعَلُواْ وَهُمۡ يَعۡلَمُونَ ١٣٥
Artinya : Dan
(juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri
sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka
dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? Dan mereka
tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui. (QS.
Ali-Imran : 135)
b.
Zuhud
Secara
etimologis, zuhud berarti ragaba ‘ansyai’in wa tarakahu, artinya tidak
tertarik terhadap sesuatu dan meninggalkannya. Zuhada fi al-dunya, berarti
mengosongkan diri dari kesenangan dunia untuk ibadah.[13]
Menurut pandangan orang-orang sufi, dunia dan segala kemewahan,
serta kelezatannya adalah sumber kemaksiatan dan penyebab terjadinya
perbuatan-perbuatan dosa. Oleh karena itu, seorang pemula atau calon sufi harus
terlebih dahulu menjadi zahid. Sikap zuhd ini erat hubungannya
dengan taubah, sebab taubah tidak akan berhasil apabila hati dan
keinginannya masih terkait kepada kesenangan duniawi.
Berbicara
tentang perkara zuhud, maka hal ini telah dijelaskan pada Al-Qur’an, yaitu
sebagai berikut : “Dan tiadalah
kehidupan dunia ini, selain dari main-main dan senda gurau belaka. Dan sungguh
kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Maka tidakkah
kamu memahaminya?”. (QS. Al-An’am : 32).
Ayat diatas secara jelas telah
menerangkan kepada kita bahwa kehidupan dunia merupakan kehidupan yang hanya
bersifat sementara. Dengan kata lain, dunia bukan lah orientasi dari segalanya
dan bukan tujuan akhir dari kehidupan ini. Maka menjadi wajar lah ketika para Sufi
mengatakan bahwa zuhud mengosongkan
diri dari kesenangan dunia untuk ibadah.
Al-Ghazali
juga mengklasifikasikan zuhud menjadi beberapa tingkatan, yaitu:
·
Zuhud
yang dikaitkan dengan jiwa orang yang berzuhud. Tingkatan ini dibedakan kembali
menjadi tiga bagian berdasarkan kuat lemahnya zuhud, yaitu:
1.
As-sufla,
yaitu derajat zuhud yang paling rendah, dimana
orang meninggalkan kemewahan dunia tetapi sebenarnya hatinya masih cenderung
dan menginginkannya.
2.
Derajat
zuhud orang yang meninggalkan kemewahan dunia secara sukarela, karena ia melihat
dunia sebagai kehinaan.
3.
A-‘Ulya,
yaitu derajat yang paling tinggi. Maksudnya, di
sini adalah menjauhi kemewahan dunia secara sukarela, karena ia melihat dunia
tidak mempunyai nilai apa-apa dan tidak sepadan dengan sesuatu apapun.
·
Zuhud
yang dikaitkan dengan sesuatu yang dicintai. Zuhud ini dibagi menjadi tiga
bagian, yaitu:
1. Zuhudnya orang takut, dimana seorang hamba
melakukan zuhud dikarenakan takut akan siksa neraka, azab kubur dan lain-lain.
2. Zuhud orang yang mengharapkan pahala, nikmat Allah
dan kelezatan yang telah dijanjikan di dalam surga.
3. Derajat yang tertinggi, yaitu zuhudnya para arif di
mana zuhud mereka bukan dikarenakan suatu apapun selain Allah, tetapi hanya
ingin berjumpa dengan Allah.
·
Zuhud
yang dikaitkan dengan sesuatu yang harus ditinggalkan. Tingkatan ini dibagi
menjadi:
1. Meninggalkan sesuatu selain Allah.
2. Meninggalkan segala sesuatu yang dikarenakan nafsu,
seperti marah, sombong, pangkat, harta, dan lain-lain.
·
Zuhud
dengan meninggalkan harta, pangkat dan segala sesuatu yang menyebabkan seseorang
mendapatkannya. Meninggalkan dirham, pangkat, dan segala kesenangan dunia.[14]
Sabar,
secara harfiah , berarti tabah hati. Secara terminologi, sabar adalah suatu
keadaan jiwa yang kokoh, stabil dan konsekuen dalam pendirian. Sedangkan
menurut pandangan Dzun Nun al-Misri, sabar berarti menjauhkan diri dari hal-hal
yang bertentangan dengan kehendak Allah, tetap tenang ketika mendapat cobaan
dan menampakkan sikap cukup, walaupun sebenarnya berada dalam kefakiran.
Berdasarkan pengertian di atas, maka sabar erat hubungannya dengan pengendalian
diri, pengendalian sikap dan pengendalian emosi. Oleh sebab itu, sikap sabar
tidak bisa terwujud begitu saja, akan tetapi harus melalui latihan yang
sungguh-sungguh.
d.
Wara’
Wara’, secara harfiah,
berarti saleh, menjauhkan diri dari perbuatan dosa atau maksiat. Sedangkan
pengertian wara’ dalam pandangan sufi adalah meninggalkan segala sesuatu
yang tidak jelas hukumnya, baik yang menyangkut makanan, pakaian, maupun
persoalan lainnya. Menurut Qamar Kailani yang dikutip oleh Rivay A. Siregar, wara’
dibagi menjadi dua: wara’ lahiriyah dan wara’ batiniyah. Wara’
lahiriyah adalah tidak mempergunakan segala yang masih diragukan dan
meninggalkan kemewahan, sedangkan wara’ batiniyah adalah tidak
menempatkan atau mengisi hati kecuali dengan mengingat Allah. Dalam kitab Al-Luma’
dijelaskan bahwa orang-orang wara’ dibagi menjadi tiga tingkatan.
Pertama, wara’ orang yang menjauhkan diri dari syubhat. Kedua, wara’ orang
yang menjauhkan diri dari sesuatu yang menjadi keraguan hati dan ganjalan di
dada. Ketiga, wara’ orang arif yang sanggup menghayati dengan hati
nurani.
e.
Faqr
Secara
harfiah fakir biasanya diartikan sebagai orang yang berhajat, butuh atau orang
miskin. Sedangkan dalam pandangan sufi fakir adalah tidak meminta lebih dari
apa yang telah ada pada diri kita. Tidak meminta rezeki kecuali hanya untuk
menjalankan kewajiban-kewajiban. Tidak meminta sungguhpun tak ada pada diri
kita, kalau diberi diterima. Tidak meminta tetapi tidak menolak.
f.
Tawakal
Secara
harfiah tawakkal berarti menyerahkan diri. Menurut Sahal bin Abdullah bahwa
awalnya tawakkal adalah apabila seorang hamba di hadapan Allah seperti bangkai
di hadapan orang yang memandikannya, ia mengikuti semaunya yang memandikan,
tidak dapat bergerak dan bertindak. Hamdun al-Qashshar mengatakan tawakkal
adalah berpegang teguh pada Allah.
Al-Qusyairi
lebih lanjut mengatakan bahwa tawakkal tempatnya di dalam hati, dan timbulnya
gerak dalam perbuatan tidak mengubah tawakkal yang terdapat dalam hati itu. Hal
itu terjadi setelah hamba meyakini bahwa segala ketentuan hanya didasarkan pada
ketentuan Allah. Mereka menganggap jika menghadapi kesulitan maka yang demikian
itu sebenarnya takdir Allah.
Pengertian
tawakkal yang demikian itu sejalan pula dengan yang dikemukakan Harun Nasution.
Ia mengatakan tawakkal adalah menyerahkan diri kepada qada dan keputusan Allah.
Selamanya dalam keadaan tenteram, jika mendapat pemberian berterima kasih, jika
mendapat apa-apa bersikap sabar dan menyerah kepada qada dan qadar Tuhan. Tidak
memikirkan hari esok, cukup dengan apa yang ada untuk hari ini. Tidak mau
makan, jika ada orang lain yang lebih berhajat pada makanan tersebut daripada
dirinya. Percaya kepada janji Allah. Menyerah kepada Allah dengan Allah dan
karena Allah.
g.
Ridha
Ridha,
secara harfiah, berarti rela, senang dan suka. Sedangkan pengertiannya secara
umum adalah tidak menentang qadha dan qadar Allah, menerima qadha dan qadar
dengan hati senang. Mengeluarkan perasaan benci dari hati sehingga yang tinggal
di dalamnya hanya perasaan senang dan gembira. Merasa senang menerima
malapetaka sebagaimana merasa senang menerima nikmat. Tidak meminta surga dari
Allah dan tidak meminta dijauhkan dari neraka. Sikap ridha ini merupakan
kelanjutan rasa cinta atau perpaduan dari mahabbah dan sabar. Rasa cinta yang
diperkuat dengan ketabahan akan menimbulkan kelapangan hati dan kesediaan yang
tulus untuk berkorban dan berbuat apa saja yang diperintahkan oleh Allah Swt.
Menurut
Abdullah bin Khafif, ridha dibagi menjadi dua macam: ridha dengan Allah dan
ridha terhadap apa yang datang dari Allah. Ridha dengan Allah berarti bahwa
seorang hamba rela terhadap Allah sebagai pengatur jagad raya seisinya,
sedangkan ridha terhadap apa yang datang dari Allah yaitu rela terhadap apa
saja yang telah menjadi ketetapan Allah Swt.
h.
Mahabbah
Mahabbah
berasal dari kata ahabba-yuhibbu-mahabbatan yang berarti mencintai secara
mendalam. Mahabbah pada tingkatan selanjutnya dapat diartikan suatu usaha
sungguh-sungguh dari seseorang untuk
mencapai tingkat rohaniah tertinggi dengan terwujudnya kecintaan yang mendalam
kepada Allah. Berkaitan dengan konsep mahabbah, Rabi’ah al-Adawiyah adalah
peletak dasar mahabbah ini. Mahabbah dalam pandangan Rabi’ah adalah cinta abadi
kepada Allah yang melebihi cinta kepada siapa pun dan apapun. Cinta abadi yang
tidak takut kepada apa saja, bahkan neraka sekalipun. Sebagaimana dalam syair
Rabi’ah yang berbunyi:
“Kujadikan Engkau teman percakapan hatiku, Tubuh kasarku biar
bercakap dengan insani, Jasadku biar bercengkrama tulangku, Isi hatiku tetap
pada-Mu jua.”
Menurut Rabi’ah al-Adawiyah, Allah adalah salah satu yang
seharusnya dicintai dan Dialah tujuan akhir dalam pencarian cinta yang abadi.
Untuk menggapai kecintaan Ilahi, maka seorang sufi harus melatih dirinya untuk
mencintai segala keindahan alam seisinya. Karena keindahan adalah ciri dari zat
yang dicintai. Bagi Rabi’ah, rasa cinta kepada Allah menjadi salah satu
motivasi dalam setiap perilakunya dan sekaligus merupakan tujuan pengabdiannya
kepada Allah. Rabi’ah al-Adawiyah mengatakan; “Aku mencintai-Mu dengan dua
dorongan cinta, cinta-rindu, karena aku menginginkan-Nya dan cinta karena
Engkau patut mendapatkannya. Cinta-rindu menenggelamkan diriku untuk selalu
mengingat dan menyebut-Mu. Cinta rindu membuatku lupa dengan orang yang selain
yang kucinta, sedangkan cinta karena Engkau pantas dicintai adalah
keterbukaan-Mu dari tirai penghalang sehingga aku dapat melihat-Mu dengan
terang benderang. Aku tak pantas mendapatkan pujian untuk cinta pertama dan
cinta kedua, tetapi segala puji untuk-Mu belaka pada cinta pertama dan cinta
kedua.
i.
Ma’rifat
Ma’rifat
berasal dari kata ‘arafa-ya’rifu-irfan-ma’rifat yang berarti pengetahuan atau
pengalaman. Ma’rifat dapat pula berarti pengetahuan rahasia hakikat agama,
yaitu ilmu yang lebih tinggi daripada ilmu yang didapat pada umumnya, dan
merupakan pengetahuan yang objeknya bukan hal-hal yang bersifat zhahir, tetapi
bersifat batin, yaitu pengetahuan mengenai rahasia-rahasia Tuhan melalui
pancaran cahaya Ilahi. Adapun alat untuk memperoleh ma’rifat bersandar pada
sir, qalb, dan ruh. Qalb yang telah suci akan dipancari cahaya Ilahi dan akan
dapat mengetahui segala rahasia Tuhan. Pada saat itulah, seorang sufi sampai
pada tingkatan ma’rifat. Dengan demikian, ma’rifat berhubungan dengan nur Ilahi
dan berkaitan dengan nur Ilahi.
Ma’rifat
menurut Syeikh Ibnu Athaillah As-Sakandari, siapapun yang merenung secara
mendalam akan menyadari bahwa semua makhluk sebenarnya menauhidkan Allah SWT
lewat tarikan nafas yang halus. Jika tidak, pasti mereka akan mendapat siksa.
Pada setiap zarah, mulai dari ukuran sub-atomis (kuantum) sampai atomis, yang
terdapat di alam semesta terdapat rahasia nama-nama Allah. Dengan rahasia
tersebut, semuanya memahami dan mengakui keesaan Allah.
Bagi
ulama, keyakinan akan Allah dibangun atas dasar pembuktian. Bagi sufi,
keyakinan akan Allah dibangun atas dasar dzauq rohani dan kasyaf Ilahi.
Ma’rifat dalam pandangan Dzun Nun al-Misri adalah pengetahuan hakiki tentang
Tuhan. Menurutnya, ma’rifat hanya terdapat pada kaum sufi yang sanggup melihat
Allah dengan hati sanubari mereka. Ma’rifat dipancarkan ke hati para sufi
dengan pancaran cahaya suci Ilahi.[15]
2. Ahwal
Secara bahasa, ahwal merupakan jamak dari kata tunggal hal yang
berarti keadaan sesuatu (keadaan rohani). Menurut Syeikh Abu Nashr as-Sarraj,
hal adalah sesuatu yang terjadi secara mendadak yang bertempat pada hati nurani
dan tidak mampu bertahan lama, sedangkan menurut al-Ghazali, hal adalah
kedudukan atau situasi kejiwaan yang dianugerahkan Allah kepada seseorang hamba
pada suatu waktu, baik sebagai buah dari amal saleh yang mensucikan jiwa atau
sebagai pemberian semata. Sehubungan dengan ini, Harun Nasution mendefinisikan
hal sebagai keadaan mental, seperti perasaan senang, persaan sedih, perasaan
takut, dan sebagainya.
Jika berpijak dari beberapa pendapat para sufi di atas, maka tidak ada
perbedaan, yang pada intinya, hal adalah keadaan rohani seorang hamba
ketika hatinya telah bersih dan suci. Hal berlainan dengan maqam, hal
tidak menentu datangnya, terkadang datang dan perginya berlangsung cepat,
yang disebut lawaih dan ada pula yang datang dan perginya dalam waktu
yang lama, yang disebut bawadih. Jika maqam diperoleh melalui
usaha, akan tetapi hal bukan diperoleh melalui usaha, akan tetapi
anugerah dan rahmat dari Tuhan. Maqam sifatnya permanen, sedangkan hal
sifatnya temporer sesuai tingkatan maqamnya. Sebagaimana halnya
dengan maqamat, dalam penentuan hal juga terdapat perbedaan
pendapat di kalangan sufi. Adapun al- hal yang paling banyak
disepakati adalah al-muraqabah, al-khauf, ar-raja’, ath-thuma’ninah, al-musyahadah,
dan al-yaqin. Penjelasan tentang ahwal tersebut adalah
sebagai berikut:
·
Muraqabah
Muraqabah artinya merasa selalu diawasi oleh Allah SWT sehingga
dengan kesadaran ini mendorong manusia senantiasa rajin melaksanakan perintah
dan menjauhi larangan-Nya. Sesungguhnya manusia hakikinya selalu berhasrat dan
ingin kepada kebaikan dan menjunjung nilai kejujuran dan keadilan, meskipun
tidak ada orang yang melihatnya. Kehati-hatian (mawas diri) adalah kesadaran.
Kesadaran ini makin terpelihara dalam diri seseorang hamba jika meyakini bahwa
Allah SWT senantiasa melihat dirinya.
Syeikh Ahmad bin Muhammad Ibnu Al Husain Al Jurairy mengatakan,
“Jalan kesuksesan itu dibangun di atas dua bagian. Pertama, hendaknya engkau
memaksa jiwamu muraqabah (merasa diawasi) oleh Allah SWT. Kedua, hendaknya ilmu
yang engkau miliki tampak di dalam perilaku lahiriahmu sehari-hari”.
·
Khauf
Khauf adalah suatu sikap mental yang merasa takut kepada Allah
karena kurang sempurna pengabdianya. Takut dan kawatir kalau Allah tidak senang
kepadanya. Menurut Ghozali Khauf adalah
rasa sakit dalam hati karena khawatir akan terjadi sesuatu yang tidak disenagi
dimasa sekarang. Menurut al Ghozali Khauf terdiri dari tiga tingkatan atau tiga
derajat, diantaranya adalah:
a. Tingkatan Qashir (pendek), Yaitu khauf
seperti kelembutan perasaan yang dimiliki wanita, perasaan ini seringkali
dirasakan tatkala mendengarkan ayat-ayat Allah dibaca.
b. Tingkatan Mufrith (yang berlebihan),
yaitu khauf yang sangat kuat dan melewati batas kewajaran dan menyebabkan
kelemahan dan putus asa, khauf tingkat ini menyebabkan hilangya kendali akal
dan bahkan kematian, khauf ini dicela karena karena membuat manusia tidak bisa
beramal.
c. Tingkatan Mu’tadil (sedang), yaitu
tingkatan yang sangat terpuji, ia berada pada khauf qashir dan mufrith.
·
Raja’
Raja’ dapat berarti berharap atau optimisme, yaitu perasaan senang
hati karena menanti sesuatu yang diinginkan dan disenangi. Raja’ atau optimisme
ini telah ditegaskan dalam al-Qur’an:
Artinya
:“Sesungguhnya
orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan
Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang”. (Al-Baqarah: 218).
Orang yang harapan dan penantiannya mendorongnya untuk berbuat ketaatan
dan mencegahnya dari kemaksiatan, berarti harapannya benar. Sebaliknya, jika
harapannya hanya angan-angan, semenatara ia sendiri tenggelam dalam lembah
kemaksiatan, harapannya sia-sia.
Raja’ menurut tiga perkara, yaitu:
a. Cinta kepada apa yang diharapkannya.
b. Takut bila harapannya hilang.
c. Berusaha untuk mencapainya.
Raja’ yang tidak dibarengi dengan tiga perkara itu hanyalah ilusi
atau hayalan. Setiap orang yang berharap adalah juga orang yang takut (khauf).
Orang yang berharap untuk sampai di suatu tempat tepat waktunya, tentu ia takut
terlambat. Dan karena takut terlambat, ia mempercepat jalannya. Begitu pula
orang yang mengharap rida atau ampunan Tuhan, diiringi pula dengan rasa takut
akan siksaan Tuhan.
·
Thuma’ninah
Thuma’ninah adalah rasa tenang, tidak ada rasa was-was atau
khawatir, tak ada yang dapat mengganggu perasaan dan pikiran, karena ia telah
mencapai tingkat kebersihan jiwa yang paling tinggi. Seseorang yang telah
mencapai tingkatan thuma’ninah, ia telah kuat akalnya, kuat imannya dan ilmunya
serta bersih ingatannya. Jadi, orang tersebut merasakan ketenangan, bahagia,
tentram dan ia dapat berkomunikasi langsung dengan Allah. Thuma’ninah dibagi
menjadi tiga tingkatan. Pertama, ketenangan bagi kaum awam. Ketenangan ini
didapatkan ketika seorang hamba berzikir, mereka merasa tenang karena buah dari
berzikir adalah terkabulnya doa-doa. Kedua, ketenangan bagi orang-orang khusus.
Mereka di tingkat ini merasa tenang karena mereka rela, senang atas keputusan
Allah, sabar atas cobaan-Nya, ikhlas dan takwa. Ketiga, ketenangan bagi
orang-orang paling khusus. Ketenangan di tingkat ini mereka dapatkan karena
mereka mengetahui bahwa rahasia-rahasia hati mereka tidak sanggup merasa
tentram kepada-Nya dan tidak bisa tenang kepada-Nya, karena kewibawaan dan
keagungan-Nya.
·
Uns
Uns (suka cita) dalam pandangan sufi adalah sifat merasa selalu
berteman, tak pernah merasa sepi. Dalam keadaan seperti ini, seorang sufi
merasakan tidak ada yang dirasa, tidak ada yang diingat, tidak ada yang diharap
kecuali Allah. Segenap jiwa terpusat bulat kepada-Nya, sehingga ia seakan-akan
tidak menyadari dirinya lagi dan berada dalam situasi hilang kesadaran terhadap
alam sekitarnya. Situasi kejiwaan seperti itulah yang disebut al-Uns. Ada
sebuah ungkapan yang menggambarkan al-Uns sebagai berikut: “Ada orang yang
merasa sepi dalam keramaian. Ia adalah orang yang selalu memikirkan kekasihnya,
sebab sedang dimabuk cinta, seperti halnya sepasang pemuda dan pemudi. Ada pula
orang yang bising dalam kesepian. Ia adalah orang selalu memikirkan atau
merencanakan tugas pekerjaannya semata-mata. Adapun engkau selalu berteman di
manapun berada. Alangkah mulianya engkau berteman dengan Allah. Artinya engkau
selalu berada dalam pemeliharaan Allah.
Seorang hamba yang merasakan Uns dibedakan menjadi tiga kondisi.
Pertama, seorang hamba yang merasakan suka cita berzikir mengingat Allah dan
merasa gelisah di saat lalai. Merasa senang di saat berbuat ketaatan dan
gelisah berbuat dosa. Kedua, seorang hamba yang merasa senang dengan Allah dan
gelisah terhadap bisikan-bisikan hati, pikiran dan segala sesuatu selain Allah
yang akan menghalanginya untuk dekat dengan Allah. Ketiga, yaitu kondisi yang
tidak lagi melihat suka citanya karena adanya wibawa, kedekatan, kemuliaan dan
mengagungkan disertai dengan suka cita.
·
Musyahadah
Musyahadah secara harfiah adalah menyaksikan dengan mata kepala.
Secara terminologi, tasawuf adalah menyaksikan secara jelas dan sadar apa yang
dicarinya (Allah) atau penyaksian terhadap kekuasaan dan keagungan Allah.
Seorang sufi telah mencapai musyahadah ketika sudah merasakan bahwa Allah telah
hadir atau Allah telah berada dalam hatinya dan seseorang sudah tidak menyadari
segala apa yang terjadi, segalanya tercurahkan pada yang satu, yaitu Allah,
sehingga tersingkap tabir yang menjadi senjangan antara sufi dengan Allah.
Dalam situasi seperti itu, seorang sufi memasuki tingkatan ma’rifat, di mana
seorang sufi seakan-akan menyaksikan Allah dan melalui persaksiannya tersebut
maka timbullah rasa cinta kasih.
Perpaduan
antara pengetahuan dan rasa cinta yang mendalam lagi dengan adanya perjumpaan
secara langsung, maka tertanamlah dalam qalb perasaan yang mantap tentang
Allah. Perasaan mantapnya pengetahuan yang diperoleh dari pertemuan secara
langsung itulah yang dinamakan al-yaqin. Jadi, al-yaqin berarti perpaduan
antara pengetahuan yang luas serta mendalam dan rasa cinta serta rindu yang
mendalam pula sehingga tertanamlah dalam jiwanya perjumpaan secara langsung
dengan Tuhannya. Dalam pandangan al-Junaid, yaqin adalah tetapnya ilmu di dalam
hati, tidak berbalik, tidak berpindah dan tidak berubah. Dengan demikian, yaqin
adalah kepercayaan yang kokoh, tak tergoyahkan tentang kebenaran pengetahuan
yang dimiliki.[16]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1.
Yang dimaksud dengan Tasawuf Irfani
adalah tasawuf yang berusaha menyingkap hakikat kebenaran atau makrifat yang
diperoleh dengan tidak melalui logika atau pemebelajaran atau pemikiran, tetapi
melalui pemberian Tuhan (mauhibah).
Ilmu itu diperoleh karena seorang sui berupaya melakukan tasfiyat al-Qalb. Dengan hati yang suci seseorang dapat berdialog
secara batiniah dengan Tuhan, sehingga pengetahuan atau makrifat dimasukkan
Allah ke dalam hatinya (qalb).
2.
Yang dimaksud dengan Ahwal dan Maqomat yaitu :
Ahwal : secara bahasa, ahwal merupakan jamak
dari kata tunggal hal yang berarti keadaan sesuatu (keadaan rohani). Menurut
Syeikh Abu Nashr as-Sarraj, hal adalah sesuatu yang terjadi secara mendadak
yang bertempat pada hati nurani dan tidak mampu bertahan lama, sedangkan
menurut al-Ghazali, hal adalah kedudukan atau situasi kejiwaan yang
dianugerahkan Allah kepada seseorang hamba pada suatu waktu, baik sebagai buah
dari amal saleh yang mensucikan jiwa atau sebagai pemberian semata.
Maqomat : merupakan jamak dari kata
maqam yang berarti tempat berpijak atau pangkat mulia. Dalam Bahasa Inggris
maqamat dikenal dengan istilah stages yang berarti tangga. Sedangkan dalam ilmu
Tasawuf, maqamat berarti kedudukan hamba dalam pandangan Allah berdasarkan apa
yang telah diusahakan, baik melalui riyadhah, ibadah, maupun mujahadah.
Daftar Pustaka
Buku :
Alibaba,
Cecep, 2012. Tasawuf dan Tarekat.
(Bandung: PT.Remaja Rosdaarya)
Mahfud, 2016. Akhlak
Tasawuf. (Cirebon: Al-Tarbiyah Press IAIN Syekh Nurjati Cirebon)
Amin, Samsul Munir,2012. Ilmu Tasawuf. (Jakarta: Amzah)
Nata, Abuddin, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Rajawali Pers,
2011)
Internet :
Jurnal :
Tim Penyusun
MKD IAIN Sunan Ampel, Akhlak Tasawuf, (Surabaya: IAIN SA Press, 2011)
[1] Dr. H. Cecep
Alba. 2012. Tasawuf dan Tarekat. (Bandung: PT.Remaja Rosdaarya) hlm 92
[2] Drs. H.
Mahfud, M.Ag. 2016. Akhlak Tasawuf. (Cirebon: Al-Tarbiyah Press IAIN Syekh
Nurjati Cirebon) hlm 109
[3] Dr. H. Cecep
Alba. 2012. Tasawuf dan Tarekat. (Bandung: PT.Remaja Rosdaarya) hlm 92-94
[4] Drs. Samsul
Munir Amin, M.A. 2012. Ilmu Tasawuf. (Jakarta: Amzah) hlm 185
[5] Drs. H.
Mahfud, M.Ag. 2016. Akhlak Tasawuf. (Cirebon: Al-Tarbiyah Press IAIN Syekh
Nurjati Cirebon) hlm 110-111
[7] Drs. H.
Mahfud, M.Ag. 2016. Akhlak Tasawuf. (Cirebon: Al-Tarbiyah Press IAIN Syekh
Nurjati Cirebon) hlm 114
[8] Drs. Samsul
Munir Amin, M.A. 2012. Ilmu Tasawuf. (Jakarta: Amzah) hlm188-189
[9] Drs. H.
Mahfud, M.Ag. 2016. Akhlak Tasawuf. (Cirebon: Al-Tarbiyah Press IAIN Syekh
Nurjati Cirebon) hlm117
[10] http://ipnu-ippnu-joho.blogspot.co.id/2013/05/makalah-maqamat-dan-ahwal-dalam-tasawuf.html diakses pada
Kamis, 15 Maret 2018 pukul 13.40 wib
[11] Abuddin Nata,
Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), h.193-194
[12] http://ipnu-ippnu-joho.blogspot.co.id/2013/05/makalah-maqamat-dan-ahwal-dalam-tasawuf.html diakses pada
Kamis, 15 Maret 2018 pukul 13.54 wib
[13] http://ipnu-ippnu-joho.blogspot.co.id/2013/05/makalah-maqamat-dan-ahwal-dalam-tasawuf.html diakses pada
Kamis, 15 Maret 2018 pukul 13.59 wib
[14] http://ipnu-ippnu-joho.blogspot.co.id/2013/05/makalah-maqamat-dan-ahwal-dalam-tasawuf.html diakses pada
Kamis, 15 Maret 2018 pukul 14.06 wib
[15] Abuddin Nata,
Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), h.202
[16] Tim Penyusun
MKD IAIN Sunan Ampel, Akhlak Tasawuf, (Surabaya: IAIN SA Press, 2011),
h.272-273
Tidak ada komentar: