Header Ads

Breaking News
recent

Kerangka Berfikir Irfani


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Tinjauan analitis terhadap tasawuf menunjukkan bahwa para sufi dengan berbagai aliran yang dianutnya memiliki suatu konsepsi tentang jalan (thariqat) menuju Allah. Jalan ini dimulai dengan latihan-latihan rohaniah (riyadah), lalu secara bertahap menempuh berbagai fase, yang dikenal dengan maqam (tingkatan) dan hal (keadaan), dan berakhir dengan mengenal (ma’rifat) menjadi jargon yang umumnya banyak dikejar oleh para sufi.
Kerangka sifat dan perilaku sufi diwujudkan melalui amalan dan metode tertentu yang disebut thariqat, atau jalan untuk menemukan pengenalan (ma’rifat) Allah. Lingkup perjalanan menuju Allah untuk memperoleh pengenalan (ma’rifat) yang berlaku di kalangan para sufi sering disebut sebagai sebuah kerangka irfani.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan tasawuf irfani?
2.      Apa yang dimaksud dengan ahwal dan maqamat dalam tasawuf?

C.    Tujuan
1.      Memahami arti dari tasawuf irfani
2.      Mengetahui ahwal dan maqamat dalam tasawuf


BAB II
PEMBAHASAN
A.    KERANGKA BERPIKIR IRFANI
1.      Tasawuf Irfani
Tasawuf Irfani adalah tasawuf yang berusaha menyingkap hakikat kebenaran atau makrifat yang diperoleh dengan tidak melalui logika atau pemebelajaran atau pemikiran, tetapi melalui pemberian Tuhan (mauhibah). Ilmu itu diperoleh karena seorang sui berupaya melakukan tasfiyat al-Qalb. Dengan hati yang suci seseorang dapat berdialog secara batiniah dengan Tuhan, sehingga pengetahuan atau makrifat dimasukkan Allah ke dalam hatinya (qalb).[1]
Dalam dunia tasawuf, qalb merupakan alat pengetahuan tentang hakikat, termasuk di dalamnya hakikat makrifat. Qalb yang dapat memperoleh makrifat adalah qalbu yang telah suci dari berbagai noda atau akhlak buruk yang sering dilakukan manusia.
Karena qalb merupakan bagian dari jiwa, kesucian jiwa sangat mempengaruhi kecemerlangan qalb dalam menerima ilmu. Qalb yang telah suci akan mampu menembus alam malakut dan menerimailmu pengetahuan dari Tuhan serta mampu berdialog dengan-Nya secara spiritual (bathiniyyah). Ilmu pengetahuan yang dihasilkan dari kondisi dialogis bathiniyyah dengan perangkat qalb yang suci inilah mereka sebut sebagai ilmu makrifat, dan secara spesifik dapat memperoleh ilmu ladunni, yakni ilmu yang datang secara langsung dari Tuhan melalui ilham yang dibisikkan ke dalam hati manusia.[2]
Murtadha Muthahhari berpendapat bahwa ‘irfan sebagai sebuah ilmu, memiliki dua aspek; praktis dan teoritis. Aspek praktis ‘irfan adalah bagian yang menjelaskan hubungan dan pertanggungjawaban manusia terhadap dirinya, dunia dan Tuhan. Bagian ini menjelaskan bagaimana seorang salik mengawali perjalanan, menempuh maqamat secara sistematis, dan keadaan jiwa yang akan dialaminya sepanjang perjalanan tersebut. Untu tujuan perjalanan ini, menurut Mtaharri, sangatlah penting dibawah bimbingan guru yang benar-benar telah mengalami sendiri perjalanan ini dan sangat mengetahui prosedur setiap tahap. Tanpa bimbingan seorang mursyid, bisa jadi si salik malah tersesat. Sedangkan ‘irfan teoritis memfokuskan perhatiannya pada masala wujud secara ontologis, mendiskusikan manusia, Tuhan serta alam semesta. Dengan demiian, ‘irfan ini menyerupai teosofi (falsafah ilahi) yang juga memeberikan penjelasan tentang wujud. Seperti halnya filsafat,‘irfan juga mendeinisikan berbagai prinsip dan problemnya. Hanya saja kalau saja kalau filsafat mendasarkan argumentasinya pada prinsip-prinsip rasional, ‘irfan mendasarkan diri pada ketersingkapan mistik yang kemudian diterjemahan ke dalam bahasa rasional untuk menjelaskannya.
Pemikiran rasional dalam filsafat dapat dibandingkan dengan kajian atas sebuah tulisan dalam bahasa aslinya, sementara pemikiran dalam ‘irfan dapat dibandingakan dengan kajian atas sebuah tulisan yang telah diterjemahkan dalam bahasa aslinya. Lebih jelasnya, kaum ‘arif ingin menjelaskan apa yang telah mereka lihat dengan mata hati dengan segenap eksistensi mereka dengan menggunakan bahasa rasional.
Tokoh-tokoh yang mengembangkan tasawuf ‘irfani antara lain:
1.      Rabi’ah al-Adawiyyah (96H-185H)
2.      Dzunnun (180H-246H)
3.      Junaidi al-Bagdadi (297H)
4.      Abu Yazi al-Bustami (200H-261H)
5.      Jalaluddin Rumi
6.      Ibn ‘Arabi
7.      Abu Bakar As-Syibli
8.      Syekh Abu Hasan al-Khurqani
9.      ‘Ain al-Qudha
10.  al-Hamdani
11.  Syekh Najmuddin al-Kubra dan lain-lainnya.
Ibn ‘Arabi dapat dimasukkan juga ke dalam kelompok sufi ‘irfani, meskipun ada juga pakar tasawuf yang memasukannya ke dalam kelompok sui falsafi. Dilihat dari karakter ajarannya yang rasional, para pakar memasukan Ibn ‘Arabi ke dalam kelompok sufi filosof. Karya-karya rasional Ibn ‘Arabi, meurut pengakuannya, semuanya merupakan perolehan dari Tuhan melalui intuisi.
Ada juga juga sebagian karyanya yang merupakan perolehan dari Rasulullah dalam suatu pertemuan spiritual yang sangat unik, misalnya kitab Fusus al-Hikam.[3]
 “Kalbu dalam pandangan kaum sufi adalah tempat kedatangan kasyaf dan ilham. Ia pun berungsi sebagai alat untuk ma’rifat dan menjadi cermin yang memantulkan (tajalli) makna-makna keghaiban.”   
            Kalbu yang dapat memperoleh ma’rifat adalah kalbu yang telah suci dari berbagai noda atas akhlak buruk yang sering dilakukan manusia. Al-Ghazali menyebut penyucian kalbu dengan tahrir al-qalb, yaitu menucikan kalbu dari akhlak buruk dan sifat-sifat bahimiyyah (hewan berkaki empat), sehingga yang menjadi pakaian kalbu adalah sifat-sifat malaikat.
            Karena kalbu merupakan bagian jiwa, kesucian jiwa sangat mempengaruhi kecemerlangan kalbu dalam menerima ilmu. Kalbu yang telah suci akan mampu menembus alam malakut (misalnya, alam malaikat). Menurut Al-Ghazali, kalbu merupakan sesuatu yang sejenis dengan malaikat. Ketika berada di alam malaikat inilah, kalbu mampu memperoleh ilmu pengetahuan dari Tuhan. Tampaknya kaum sufi memandang kesucian kalbu sebagai persyarat untuk berdialog secara batiniah dengan Tuhan. Mereka mengemukakan alasan bahwa Tuhan hanya dapat didekati oleh jiwa yang suci.
            Dengan demikian, kalbu berpotensi untuk berdialog dengan Tuhan. Inilah yang dimaksud Al-Ghazali dengan ungkapan bahwa di luar akal dan jiwa, terdapat alat yang dapat menyingkap pengetahuan ghaib dan hal-hal yang akan terjadi di masa mendatang.
            Dari pembahasan dan uraian di atas, dapatlah dipahami bahwa hati (kalbu) menjadi sarana untu memperoleh ma’rifat. Kalbulah yang mampu mengetaui hakikat pengetahuan, karena kalbu telah dibekali potensi untuk berdialog dengan Tuhan. Hal ini mengisyaratkan bahwa ma’rifat tidak spntanitas dimiliki sembarang orang, tetapi hanya dimiliki oleh orang-orang yang telah berupaya untuk memperolehnya.
            Di samping melalui tahapan-tahapan maqamat dan ahwal, untuk memperoleh ma’rifat, seseorang harus melalui upaya-upaya tertentu, seperti sebagai berikut ini[4]:
a.      Riyadhah
Riyadhah yang sering disebut dengan “latihan-latihan mistik” adalah latihan kejiwaan melalui upaya membiasakan diri agar tidak melakukan hal-hal yang dapat mengotori jiwa. Riyadhah dapat pula berarti proses internalisasi kejiwaan dengan sifat-sifat terpuji dan melatih diri untuk meninggalkan siat-siat buruk.
 Para sufi menggolongkan riyadhah sebagai latihan kejiwaan dalam upaya meninggalkan siat-siat buruk termasuk didalamnya adalah pendidikan akhlak (tarbiyah al-akhlaq) dan pengobatan penyakit hati. Menurut para sufi untuk menghilangkan penyakit itu, perlu dilakukan riyadhah.
Riyadhah harus disertai dengan mujahadah, yaitu kesungguhan dalam usaha untuk meninggalkan sifat-sifat buruk. Meninggalkan perangai buruk merupakan tugas berat, sehingga membutuhkan kesungguhan dan usaha keras dalam meriyadhahkannya.[5]
Riyadhahperlu dilakukan untuk memperoleh ilmu ma’rifat yang dapat didapat melalui kebaikan yang terus menerus. Dalam hal ini, riyadhah berguna untuk menempa jasmani dan akal budi orang yang melakukan latihan-latihan itu sehingga mampu menangkap dan menerima komunikasi dari alam ghaib (malakut) yang transendental.
Hal terpenting dalam riyadhah adalah melatih jiwa melepaskan ketergantungan terhadap kelezatan duniawi yang fatamorgana, lalu menghubungan diri dengan realitas rohani dan ilahi. Dengan demikian, riyadhah akan mengantarkan seseorang selalu berada di bawah bayangan yang kudus.
b.      Tafakur
Tafakur penting dilakukan bagi mereka yang menginginkan ma’riat. Sebab manakala jiwa belajar dan mengola ilmu, lalu memikirkan dan menganalisisnya, pintu keghaiban akan dibukakan untuknya. Menurut Al-Ghazali, orang yang berpikir dengan benar akan menjadi dzaw al-albab (ilmuwan) yang terbuka pintu kalbunya sehingga akan mendapat ilham. Dalam Al-Risalah Al-Laduniyyah, Al-Ghazali pun menjelaskan bahwa tafakur pun merupakan salah satu atau untuk memperole ilmu laduni.[6]
Mengenai tafakkur ini, Rasulullah saw bersabda:
“Berpikir sesaat adalah lebih baik daripada ibadah selama enam puluh tahun”.
Al-Ghazali tampaknya memahami hadis ini dengan maksud berpikir yang teratur dan dengan syarat-syarat berpikir yang baik. Dalam kaitannya dengan ta’allum rabbani, metode tafakkur merupakan cara kedua setelah ta’allum. Keduanya memiliki perbedaan. Ta’allum berlangsung secara “ekstern” dengan melalui proses belajar yang dilakukan secara lahiriah.
Sedangkan tafakkur berlangsung secara internal dengan proses pembelajaran dari dalam diri manusia melalui aktifitas berpikir yang menggunakan perangkat batiniah. Selanjutnya, tafakur dilakukan dengan mendayagunakan secara maksimal potensi nafs kulli (jiwa universal). Nafs kulli (jiwa universal) merupakan perangkat keilmuan yang dapat menghasilkan ilmu, terutama ilmu ma’rifat.
Malik Badri mengungkapkan bahwa perwujudan tafakkur memiliki dan melalui tiga fase yang saling terkait, dan berakhir pada fase keempat yang disebut dengan istilah syuhud. Fase pertama diawali dengan pengetahuan yang didapat dari persepsi empiris yang langsung melalui alat pendengaran alar raba, atau alat indera lainnya atau dengan tidak langsung, seperti pada fenomena imajinasi, atau kadang pengetahuan rasional yang abstrak.
Fase kedua adalah fase tawadu, yaitu pengungkapan rasa kagum terhadap ciptaan-Nya, fase inidapat dirasakan baik oleh orang mukmin maupun kafir, tanpa melihat sisi keimanan atau kekafiran. Akan tetapi pada fase pengetahuan ketiga yang menghubungkan antara perasaan akan keindahan ciptaan dan kerapian tatanan alam dengan penciptanya yang maha agung dan maha tinggi, merupakan nimat besar yang hanya dapat dirasakan oleh orang mukmin.
Jika seorang mukmin senantiasa dalam kondisi ini, ia akan sampai pada fase keempat, di mana taakkur menjadi sebuah kebiasaan. Semua yang ada disekitarnya menjadi motivasi berpikir dan bertafakkur. Pada batas ini, dia sudah sampai pada fase keempat yaitu fase syuhud atau bashirah.
Menurut Ibnu Qayyim, seorang yang telah sampai pada tingat berpikir deperti ini akan dibukakanbaginya pintu untuk menyaksikan keagungan Allah, yaitu merasakan kemahaperkasaan Allah.
c.       Tazkiyyah An-Nafs
Secara etimologi, tazkiyyat adalah mashdar dari kata zakkayuzakki- tazkiyyah, yang berarti pembersihan atau penyucian.
Sedangkan kata al-Nafs umumnya diartikan sebgai jiwa atau diri. Padanan atau sinonim yang mirip dengan pengertian tazkiyyah adalah tathhir yang artinya membersihan. Kata tathhir konotasinya adalah membersihkan sesuatu yang bersifat material atau jasmaniah yang bisa diketahui oleh indera-indera manusia.
Misalnya membersihkan kotoran tangan dari kotoran, baik berupa najis atau noda-noda yang menempel pada jasmani manusia. Sedangkan kata tazkiyyah konotasinya dalah membersihan sesuatu yang bersifat non-materi atau psikis. Misalnya membersihkan pikiran dari angan-angan kotor, nafsu jahat da sebagainya.[7]
Proses penyucian jiwa dalam kerangka tasawuf ini dapat dilakuan melalui tahapan takhalli (menghilangkan/mengosongkan diri kita dari akhlak tercela) dan tahalli (menghiasi diri kita dengan akhlak terpuji). Tazkiyyah al-nafs merupakan inti kegiatan bertasawu. Kalangan sufi adalah orang-orang yang senantiasa menyucian hati dan jiwa.perwujudannya adalah rasa membutuhkan terhadap Tuhan.
Upaya melakukan penyempurnaan jiwa perlu dilakuan oleh setiap orang yang menginginkan ilmu ma’rifat. Hal ini perlu dilakuan karena ilmu ma’riat tidak dapat diterima oleh manusia yang jiwanya kotor. Ada lima hal yang menjadi penghalang bagi jiwa di dalam menangkap hakikat.
Pertama, jiwa yang belum sempurna. Kedua, jiwa yang dikotori perbuatan maksiat. Ketiga,sikap menuruti keinginan badan. Keempat, adanya penutup yang menghalangi masuknya hakikat ke dalam jiwa (taklid). Kelima, tidak dapat berpikir logis. Dibutuhkan upaya untuk menyempurnakan jiwa agar penghalang-penghalang itu hilang. Dalam konteks inilah, penyempurnaan jiwa dapat dilakukan dengan tazkiyyah al-nafs.
Dengan demiian, kesucian jiwa adalah syarat bagi masuknya hakiat atau ilmu ma’rifat ke dalam jiwa. Sementara tu jiwa yang kotor, selalu mengikuti hawa nafsu duniawi dan membuatnya ter-hijab dari Allah.

d.       Dzikrullah
Secara etimologi, dzikir berakardari kata dzakara yang artinya mengingat, memperhatikan, mengenang, mengambil pelajaran, mengenal, atau mengerti; ingatan.
Dzikir sama dengan mengingat, sedangkan secara istlah adalah membasahi lidah dengan ucapan-ucapan pujian kepada Allah. Dzikir merupakan metode lain yang paling utama untuk memperoleh ilmu laduni. Dzikir dapat dilakukan di mana saja dan dalam semua keadaan. Dzikir dapat dilakukan dengan hati (dzikir khafi), dengan lidah (dzikir lisan), dan dengan anggota badan (dzikir denganperilaku terpuji).
Dalam Al-Munqidz, Al-Ghazali menjelaskan bahwa dzikir kepada Allah merupakan hiasan bagi kaum sufi. Syarat utama bagi orang yang menempuh jalan Allah adalah membersihkan hati secara menyeluruh dari selain-Nya. Sementara itu, kuncinya adalah menenggelamkan hati secara keseluruhan dnegan dzikir kepada Allah.[8]
Dalam pandangan sufi, dziir dapat membuka tabir alam malakut, yakni dengan datangnya malaiat. Dzikir merupakan kunci pembuka alam ghaib, penarik kebaikan, penjinak waswas dan pembua kewalian. Diir yang berfungsi untuk menyucikan atau membersihkan hati.[9]

B.     Dasar-dasar Filosofi : Ahwal dan Maqomat
1.      Maqomat
Secara harfiah, maqamat merupakan jamak dari kata maqam yang berarti tempat berpijak atau pangkat mulia. Dalam Bahasa Inggris maqamat dikenal dengan istilah stages yang berarti tangga. Sedangkan dalam ilmu Tasawuf, maqamat berarti kedudukan hamba dalam pandangan Allah berdasarkan apa yang telah diusahakan, baik melalui riyadhah, ibadah, maupun mujahadah. Di samping itu, maqamat berarti jalan panjang atau fase-fase yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk berada sedekat mungkin dengan Allah. Maqam dilalui seorang hamba melalui usaha yang sungguh-sungguh dalam melakukan sejumlah kewajiban yang harus ditempuh dalam jangka waktu tertentu. Seorang hamba tidak akan mencapai maqam berikutnya sebelum menyempurnakan maqam sebelumnya.[10]
Tentang berapa jumlah tangga atau maqamat yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk sampai menuju Tuhan, di kalangan para sufi tidak sama pendapatnya. Namun ada maqamat yang oleh mereka disepakati, yaitu al-taubah, al-zuhud, al-wara, al-faqr, al-shabr, al-tawakkal dan al-ridla. Sedangkan al-tawaddlu, al-mahabbah, dan al-ma’rifah oleh mereka tidak disepakati sebagai maqamat. Terhadap tiga istilah yang disebut terakhir itu (al-tawaddlu, al-mahabbah dan al-ma’rifah) terkadang para ahli tasawuf menyebutnya sebagai maqamat, dan terkadang menyebutnya sebagai hal dan ittihad (tercapainya kesatuan wujud rohaniah dengan Tuhan).[11]
a.      Taubat
Taubat berasal dari Bahasa Arab taba-yatubu-taubatan yang berarti “kembali” dan “penyelesalan”. Sedangkan pengertian taubat bagi kalangan sufi adalah memohon ampun atas segala dosa yang disertai dengan penyesalan dan berjanji dengan sungguh-sungguh untuk tidak mengulangi perbuatan dosa tersebut dan dibarengi dengan melakukan kebajikan yang dianjurkan oleh Allah.
Taubat menurut Dzun Nun al-Misri dibedakan menjadi tiga tingkatan: (1) orang yang bertaubat dari dosa dan keburukan, (2) orang yang bertaubat dari kelalaian mengingat Allah dan (3) orang yang bertaubat karena memandang kebaikan dan ketaatannya. Dari ketiga tingkatan taubat tersebut, yang dimaksud sebagai maqam dalam tasawuf adalah upaya taubat, karena merasakan kenikmatan batin.Lain halnya dengan Ibnu Taimiyah. Ia membedakan taubat menjadi dua: taubat wajib dan taubat sunnah. Taubat wajib adalah taubat karena menyesali perbuatan meninggalkan perkara-perkara wajib, atau menyesal karena melakukan perkara-perkara haram. Sedangkan taubat sunnah adalah taubat karena menyesali
perbuatan meninggalkan perkara-perkara sunnah, atau karena menyesali
perbuatan melakukan perkara-perkara makruh. Berkaitan dengan dua macam
taubat ini, Ibnu Taimiyah menjelaskan tingkatan/derajat orang yang bertaubat
menjadi dua. Pertama, al-abrar al-muqtashidun (orang-orang yang berbakti lagi
pertengahan), yaitu orang-orang yang melakukan jenis taubat yang pertama, yaitu
taubat wajib. Kedua, as-sabiqun al-awwalun. Mereka adalah orang yang
melakukan jenis taubat wajib dan taubat sunnah.[12]

Berkaitan dengan maqam taubat, dalam al-Qur’an terdapat banyak ayat yang menjelaskan masalah ini, di antaranya adalah ayat yang berbunyi:
وَٱلَّذِينَ إِذَا فَعَلُواْ فَٰحِشَةً أَوۡ ظَلَمُوٓاْ أَنفُسَهُمۡ ذَكَرُواْ ٱللَّهَ فَٱسۡتَغۡفَرُواْ لِذُنُوبِهِمۡ
 وَمَن يَغۡفِرُ ٱلذُّنُوبَ إِلَّا ٱللَّهُ وَلَمۡ يُصِرُّواْ عَلَىٰ مَا فَعَلُواْ وَهُمۡ يَعۡلَمُونَ ١٣٥
Artinya : Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui. (QS. Ali-Imran : 135)


b.      Zuhud
Secara etimologis, zuhud berarti ragaba ‘ansyai’in wa tarakahu, artinya tidak tertarik terhadap sesuatu dan meninggalkannya. Zuhada fi al-dunya, berarti mengosongkan diri dari kesenangan dunia untuk ibadah.[13]
Menurut pandangan orang-orang sufi, dunia dan segala kemewahan, serta kelezatannya adalah sumber kemaksiatan dan penyebab terjadinya perbuatan-perbuatan dosa. Oleh karena itu, seorang pemula atau calon sufi harus terlebih dahulu menjadi zahid. Sikap zuhd ini erat hubungannya dengan taubah, sebab taubah tidak akan berhasil apabila hati dan keinginannya masih terkait kepada kesenangan duniawi.
Berbicara tentang perkara zuhud, maka hal ini telah dijelaskan pada Al-Qur’an, yaitu sebagai berikut : “Dan tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari main-main dan senda gurau belaka. Dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Maka tidakkah kamu memahaminya?”. (QS. Al-An’am : 32).
Ayat diatas secara jelas telah menerangkan kepada kita bahwa kehidupan dunia merupakan kehidupan yang hanya bersifat sementara. Dengan kata lain, dunia bukan lah orientasi dari segalanya dan bukan tujuan akhir dari kehidupan ini. Maka menjadi wajar lah ketika para Sufi mengatakan bahwa zuhud mengosongkan diri dari kesenangan dunia untuk ibadah.
Al-Ghazali juga mengklasifikasikan zuhud menjadi beberapa tingkatan, yaitu:
·         Zuhud yang dikaitkan dengan jiwa orang yang berzuhud. Tingkatan ini dibedakan kembali menjadi tiga bagian berdasarkan kuat lemahnya zuhud, yaitu:
1.         As-sufla, yaitu derajat zuhud yang paling rendah, dimana orang meninggalkan kemewahan dunia tetapi sebenarnya hatinya masih cenderung dan menginginkannya.
2.         Derajat zuhud orang yang meninggalkan kemewahan dunia secara sukarela, karena ia melihat dunia sebagai kehinaan.
3.         A-‘Ulya, yaitu derajat yang paling tinggi. Maksudnya, di sini adalah menjauhi kemewahan dunia secara sukarela, karena ia melihat dunia tidak mempunyai nilai apa-apa dan tidak sepadan dengan sesuatu apapun.
·         Zuhud yang dikaitkan dengan sesuatu yang dicintai. Zuhud ini dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:
1.      Zuhudnya orang takut, dimana seorang hamba melakukan zuhud dikarenakan takut akan siksa neraka, azab kubur dan lain-lain.
2.      Zuhud orang yang mengharapkan pahala, nikmat Allah dan kelezatan yang telah dijanjikan di dalam surga.
3.      Derajat yang tertinggi, yaitu zuhudnya para arif di mana zuhud mereka bukan dikarenakan suatu apapun selain Allah, tetapi hanya ingin berjumpa dengan Allah.
·         Zuhud yang dikaitkan dengan sesuatu yang harus ditinggalkan. Tingkatan ini dibagi menjadi:
1.      Meninggalkan sesuatu selain Allah.
2.      Meninggalkan segala sesuatu yang dikarenakan nafsu, seperti marah, sombong, pangkat, harta, dan lain-lain.
·         Zuhud dengan meninggalkan harta, pangkat dan segala sesuatu yang menyebabkan seseorang mendapatkannya. Meninggalkan dirham, pangkat, dan segala kesenangan dunia.[14]
c.       Sabar
Sabar, secara harfiah , berarti tabah hati. Secara terminologi, sabar adalah suatu keadaan jiwa yang kokoh, stabil dan konsekuen dalam pendirian. Sedangkan menurut pandangan Dzun Nun al-Misri, sabar berarti menjauhkan diri dari hal-hal yang bertentangan dengan kehendak Allah, tetap tenang ketika mendapat cobaan dan menampakkan sikap cukup, walaupun sebenarnya berada dalam kefakiran. Berdasarkan pengertian di atas, maka sabar erat hubungannya dengan pengendalian diri, pengendalian sikap dan pengendalian emosi. Oleh sebab itu, sikap sabar tidak bisa terwujud begitu saja, akan tetapi harus melalui latihan yang sungguh-sungguh.
d.      Wara’
Wara’, secara harfiah, berarti saleh, menjauhkan diri dari perbuatan dosa atau maksiat. Sedangkan pengertian wara’ dalam pandangan sufi adalah meninggalkan segala sesuatu yang tidak jelas hukumnya, baik yang menyangkut makanan, pakaian, maupun persoalan lainnya. Menurut Qamar Kailani yang dikutip oleh Rivay A. Siregar, wara’ dibagi menjadi dua: wara’ lahiriyah dan wara’ batiniyah. Wara’ lahiriyah adalah tidak mempergunakan segala yang masih diragukan dan meninggalkan kemewahan, sedangkan wara’ batiniyah adalah tidak menempatkan atau mengisi hati kecuali dengan mengingat Allah. Dalam kitab Al-Luma’ dijelaskan bahwa orang-orang wara’ dibagi menjadi tiga tingkatan. Pertama, wara’ orang yang menjauhkan diri dari syubhat. Kedua, wara’ orang yang menjauhkan diri dari sesuatu yang menjadi keraguan hati dan ganjalan di dada. Ketiga, wara’ orang arif yang sanggup menghayati dengan hati nurani.
e.       Faqr
Secara harfiah fakir biasanya diartikan sebagai orang yang berhajat, butuh atau orang miskin. Sedangkan dalam pandangan sufi fakir adalah tidak meminta lebih dari apa yang telah ada pada diri kita. Tidak meminta rezeki kecuali hanya untuk menjalankan kewajiban-kewajiban. Tidak meminta sungguhpun tak ada pada diri kita, kalau diberi diterima. Tidak meminta tetapi tidak menolak.
f.       Tawakal
Secara harfiah tawakkal berarti menyerahkan diri. Menurut Sahal bin Abdullah bahwa awalnya tawakkal adalah apabila seorang hamba di hadapan Allah seperti bangkai di hadapan orang yang memandikannya, ia mengikuti semaunya yang memandikan, tidak dapat bergerak dan bertindak. Hamdun al-Qashshar mengatakan tawakkal adalah berpegang teguh pada Allah.
Al-Qusyairi lebih lanjut mengatakan bahwa tawakkal tempatnya di dalam hati, dan timbulnya gerak dalam perbuatan tidak mengubah tawakkal yang terdapat dalam hati itu. Hal itu terjadi setelah hamba meyakini bahwa segala ketentuan hanya didasarkan pada ketentuan Allah. Mereka menganggap jika menghadapi kesulitan maka yang demikian itu sebenarnya takdir Allah.
Pengertian tawakkal yang demikian itu sejalan pula dengan yang dikemukakan Harun Nasution. Ia mengatakan tawakkal adalah menyerahkan diri kepada qada dan keputusan Allah. Selamanya dalam keadaan tenteram, jika mendapat pemberian berterima kasih, jika mendapat apa-apa bersikap sabar dan menyerah kepada qada dan qadar Tuhan. Tidak memikirkan hari esok, cukup dengan apa yang ada untuk hari ini. Tidak mau makan, jika ada orang lain yang lebih berhajat pada makanan tersebut daripada dirinya. Percaya kepada janji Allah. Menyerah kepada Allah dengan Allah dan karena Allah.
g.      Ridha
Ridha, secara harfiah, berarti rela, senang dan suka. Sedangkan pengertiannya secara umum adalah tidak menentang qadha dan qadar Allah, menerima qadha dan qadar dengan hati senang. Mengeluarkan perasaan benci dari hati sehingga yang tinggal di dalamnya hanya perasaan senang dan gembira. Merasa senang menerima malapetaka sebagaimana merasa senang menerima nikmat. Tidak meminta surga dari Allah dan tidak meminta dijauhkan dari neraka. Sikap ridha ini merupakan kelanjutan rasa cinta atau perpaduan dari mahabbah dan sabar. Rasa cinta yang diperkuat dengan ketabahan akan menimbulkan kelapangan hati dan kesediaan yang tulus untuk berkorban dan berbuat apa saja yang diperintahkan oleh Allah Swt.
Menurut Abdullah bin Khafif, ridha dibagi menjadi dua macam: ridha dengan Allah dan ridha terhadap apa yang datang dari Allah. Ridha dengan Allah berarti bahwa seorang hamba rela terhadap Allah sebagai pengatur jagad raya seisinya, sedangkan ridha terhadap apa yang datang dari Allah yaitu rela terhadap apa saja yang telah menjadi ketetapan Allah Swt.
h.      Mahabbah
Mahabbah berasal dari kata ahabba-yuhibbu-mahabbatan yang berarti mencintai secara mendalam. Mahabbah pada tingkatan selanjutnya dapat diartikan suatu usaha sungguh-sungguh  dari seseorang untuk mencapai tingkat rohaniah tertinggi dengan terwujudnya kecintaan yang mendalam kepada Allah. Berkaitan dengan konsep mahabbah, Rabi’ah al-Adawiyah adalah peletak dasar mahabbah ini. Mahabbah dalam pandangan Rabi’ah adalah cinta abadi kepada Allah yang melebihi cinta kepada siapa pun dan apapun. Cinta abadi yang tidak takut kepada apa saja, bahkan neraka sekalipun. Sebagaimana dalam syair Rabi’ah yang berbunyi:
“Kujadikan Engkau teman percakapan hatiku, Tubuh kasarku biar bercakap dengan insani, Jasadku biar bercengkrama tulangku, Isi hatiku tetap pada-Mu jua.”
Menurut Rabi’ah al-Adawiyah, Allah adalah salah satu yang seharusnya dicintai dan Dialah tujuan akhir dalam pencarian cinta yang abadi. Untuk menggapai kecintaan Ilahi, maka seorang sufi harus melatih dirinya untuk mencintai segala keindahan alam seisinya. Karena keindahan adalah ciri dari zat yang dicintai. Bagi Rabi’ah, rasa cinta kepada Allah menjadi salah satu motivasi dalam setiap perilakunya dan sekaligus merupakan tujuan pengabdiannya kepada Allah. Rabi’ah al-Adawiyah mengatakan; “Aku mencintai-Mu dengan dua dorongan cinta, cinta-rindu, karena aku menginginkan-Nya dan cinta karena Engkau patut mendapatkannya. Cinta-rindu menenggelamkan diriku untuk selalu mengingat dan menyebut-Mu. Cinta rindu membuatku lupa dengan orang yang selain yang kucinta, sedangkan cinta karena Engkau pantas dicintai adalah keterbukaan-Mu dari tirai penghalang sehingga aku dapat melihat-Mu dengan terang benderang. Aku tak pantas mendapatkan pujian untuk cinta pertama dan cinta kedua, tetapi segala puji untuk-Mu belaka pada cinta pertama dan cinta kedua.
i.        Ma’rifat
Ma’rifat berasal dari kata ‘arafa-ya’rifu-irfan-ma’rifat yang berarti pengetahuan atau pengalaman. Ma’rifat dapat pula berarti pengetahuan rahasia hakikat agama, yaitu ilmu yang lebih tinggi daripada ilmu yang didapat pada umumnya, dan merupakan pengetahuan yang objeknya bukan hal-hal yang bersifat zhahir, tetapi bersifat batin, yaitu pengetahuan mengenai rahasia-rahasia Tuhan melalui pancaran cahaya Ilahi. Adapun alat untuk memperoleh ma’rifat bersandar pada sir, qalb, dan ruh. Qalb yang telah suci akan dipancari cahaya Ilahi dan akan dapat mengetahui segala rahasia Tuhan. Pada saat itulah, seorang sufi sampai pada tingkatan ma’rifat. Dengan demikian, ma’rifat berhubungan dengan nur Ilahi dan berkaitan dengan nur Ilahi.
Ma’rifat menurut Syeikh Ibnu Athaillah As-Sakandari, siapapun yang merenung secara mendalam akan menyadari bahwa semua makhluk sebenarnya menauhidkan Allah SWT lewat tarikan nafas yang halus. Jika tidak, pasti mereka akan mendapat siksa. Pada setiap zarah, mulai dari ukuran sub-atomis (kuantum) sampai atomis, yang terdapat di alam semesta terdapat rahasia nama-nama Allah. Dengan rahasia tersebut, semuanya memahami dan mengakui keesaan Allah.
Bagi ulama, keyakinan akan Allah dibangun atas dasar pembuktian. Bagi sufi, keyakinan akan Allah dibangun atas dasar dzauq rohani dan kasyaf Ilahi. Ma’rifat dalam pandangan Dzun Nun al-Misri adalah pengetahuan hakiki tentang Tuhan. Menurutnya, ma’rifat hanya terdapat pada kaum sufi yang sanggup melihat Allah dengan hati sanubari mereka. Ma’rifat dipancarkan ke hati para sufi dengan pancaran cahaya suci Ilahi.[15]
2.    Ahwal
Secara bahasa, ahwal merupakan jamak dari kata tunggal hal yang berarti keadaan sesuatu (keadaan rohani). Menurut Syeikh Abu Nashr as-Sarraj, hal adalah sesuatu yang terjadi secara mendadak yang bertempat pada hati nurani dan tidak mampu bertahan lama, sedangkan menurut al-Ghazali, hal adalah kedudukan atau situasi kejiwaan yang dianugerahkan Allah kepada seseorang hamba pada suatu waktu, baik sebagai buah dari amal saleh yang mensucikan jiwa atau sebagai pemberian semata. Sehubungan dengan ini, Harun Nasution mendefinisikan hal sebagai keadaan mental, seperti perasaan senang, persaan sedih, perasaan takut, dan sebagainya.
Jika berpijak dari beberapa pendapat para sufi di atas, maka tidak ada perbedaan, yang pada intinya, hal adalah keadaan rohani seorang hamba ketika hatinya telah bersih dan suci. Hal berlainan dengan maqam, hal tidak menentu datangnya, terkadang datang dan perginya berlangsung cepat, yang disebut lawaih dan ada pula yang datang dan perginya dalam waktu yang lama, yang disebut bawadih. Jika maqam diperoleh melalui usaha, akan tetapi hal bukan diperoleh melalui usaha, akan tetapi anugerah dan rahmat dari Tuhan. Maqam sifatnya permanen, sedangkan hal sifatnya temporer sesuai tingkatan maqamnya. Sebagaimana halnya dengan maqamat, dalam penentuan hal juga terdapat perbedaan pendapat di kalangan sufi. Adapun al- hal yang paling banyak disepakati adalah al-muraqabah, al-khauf, ar-raja’, ath-thuma’ninah, al-musyahadah, dan al-yaqin. Penjelasan tentang ahwal tersebut adalah sebagai berikut:
·         Muraqabah
Muraqabah artinya merasa selalu diawasi oleh Allah SWT sehingga dengan kesadaran ini mendorong manusia senantiasa rajin melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Sesungguhnya manusia hakikinya selalu berhasrat dan ingin kepada kebaikan dan menjunjung nilai kejujuran dan keadilan, meskipun tidak ada orang yang melihatnya. Kehati-hatian (mawas diri) adalah kesadaran. Kesadaran ini makin terpelihara dalam diri seseorang hamba jika meyakini bahwa Allah SWT senantiasa melihat dirinya.
Syeikh Ahmad bin Muhammad Ibnu Al Husain Al Jurairy mengatakan, “Jalan kesuksesan itu dibangun di atas dua bagian. Pertama, hendaknya engkau memaksa jiwamu muraqabah (merasa diawasi) oleh Allah SWT. Kedua, hendaknya ilmu yang engkau miliki tampak di dalam perilaku lahiriahmu sehari-hari”.
·         Khauf
Khauf adalah suatu sikap mental yang merasa takut kepada Allah karena kurang sempurna pengabdianya. Takut dan kawatir kalau Allah tidak senang kepadanya. Menurut  Ghozali Khauf adalah rasa sakit dalam hati karena khawatir akan terjadi sesuatu yang tidak disenagi dimasa sekarang. Menurut al Ghozali Khauf terdiri dari tiga tingkatan atau tiga derajat, diantaranya adalah:
a.       Tingkatan Qashir (pendek), Yaitu khauf seperti kelembutan perasaan yang dimiliki wanita, perasaan ini seringkali dirasakan tatkala mendengarkan ayat-ayat Allah dibaca.
b.      Tingkatan Mufrith (yang berlebihan), yaitu khauf yang sangat kuat dan melewati batas kewajaran dan menyebabkan kelemahan dan putus asa, khauf tingkat ini menyebabkan hilangya kendali akal dan bahkan kematian, khauf ini dicela karena karena membuat manusia tidak bisa beramal.
c.       Tingkatan Mu’tadil (sedang), yaitu tingkatan yang sangat terpuji, ia berada pada khauf qashir dan mufrith.
·         Raja’
Raja’ dapat berarti berharap atau optimisme, yaitu perasaan senang hati karena menanti sesuatu yang diinginkan dan disenangi. Raja’ atau optimisme ini telah ditegaskan dalam al-Qur’an:
Artinya :Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (Al-Baqarah: 218).
Orang yang harapan dan penantiannya mendorongnya untuk berbuat ketaatan dan mencegahnya dari kemaksiatan, berarti harapannya benar. Sebaliknya, jika harapannya hanya angan-angan, semenatara ia sendiri tenggelam dalam lembah kemaksiatan, harapannya sia-sia.
Raja’ menurut tiga perkara, yaitu:
a. Cinta kepada apa yang diharapkannya.
b. Takut bila harapannya hilang.
c. Berusaha untuk mencapainya.
Raja’ yang tidak dibarengi dengan tiga perkara itu hanyalah ilusi atau hayalan. Setiap orang yang berharap adalah juga orang yang takut (khauf). Orang yang berharap untuk sampai di suatu tempat tepat waktunya, tentu ia takut terlambat. Dan karena takut terlambat, ia mempercepat jalannya. Begitu pula orang yang mengharap rida atau ampunan Tuhan, diiringi pula dengan rasa takut akan siksaan Tuhan.
·         Thuma’ninah
Thuma’ninah adalah rasa tenang, tidak ada rasa was-was atau khawatir, tak ada yang dapat mengganggu perasaan dan pikiran, karena ia telah mencapai tingkat kebersihan jiwa yang paling tinggi. Seseorang yang telah mencapai tingkatan thuma’ninah, ia telah kuat akalnya, kuat imannya dan ilmunya serta bersih ingatannya. Jadi, orang tersebut merasakan ketenangan, bahagia, tentram dan ia dapat berkomunikasi langsung dengan Allah. Thuma’ninah dibagi menjadi tiga tingkatan. Pertama, ketenangan bagi kaum awam. Ketenangan ini didapatkan ketika seorang hamba berzikir, mereka merasa tenang karena buah dari berzikir adalah terkabulnya doa-doa. Kedua, ketenangan bagi orang-orang khusus. Mereka di tingkat ini merasa tenang karena mereka rela, senang atas keputusan Allah, sabar atas cobaan-Nya, ikhlas dan takwa. Ketiga, ketenangan bagi orang-orang paling khusus. Ketenangan di tingkat ini mereka dapatkan karena mereka mengetahui bahwa rahasia-rahasia hati mereka tidak sanggup merasa tentram kepada-Nya dan tidak bisa tenang kepada-Nya, karena kewibawaan dan keagungan-Nya.
·         Uns
Uns (suka cita) dalam pandangan sufi adalah sifat merasa selalu berteman, tak pernah merasa sepi. Dalam keadaan seperti ini, seorang sufi merasakan tidak ada yang dirasa, tidak ada yang diingat, tidak ada yang diharap kecuali Allah. Segenap jiwa terpusat bulat kepada-Nya, sehingga ia seakan-akan tidak menyadari dirinya lagi dan berada dalam situasi hilang kesadaran terhadap alam sekitarnya. Situasi kejiwaan seperti itulah yang disebut al-Uns. Ada sebuah ungkapan yang menggambarkan al-Uns sebagai berikut: “Ada orang yang merasa sepi dalam keramaian. Ia adalah orang yang selalu memikirkan kekasihnya, sebab sedang dimabuk cinta, seperti halnya sepasang pemuda dan pemudi. Ada pula orang yang bising dalam kesepian. Ia adalah orang selalu memikirkan atau merencanakan tugas pekerjaannya semata-mata. Adapun engkau selalu berteman di manapun berada. Alangkah mulianya engkau berteman dengan Allah. Artinya engkau selalu berada dalam pemeliharaan Allah.
Seorang hamba yang merasakan Uns dibedakan menjadi tiga kondisi. Pertama, seorang hamba yang merasakan suka cita berzikir mengingat Allah dan merasa gelisah di saat lalai. Merasa senang di saat berbuat ketaatan dan gelisah berbuat dosa. Kedua, seorang hamba yang merasa senang dengan Allah dan gelisah terhadap bisikan-bisikan hati, pikiran dan segala sesuatu selain Allah yang akan menghalanginya untuk dekat dengan Allah. Ketiga, yaitu kondisi yang tidak lagi melihat suka citanya karena adanya wibawa, kedekatan, kemuliaan dan mengagungkan disertai dengan suka cita.
·         Musyahadah
Musyahadah secara harfiah adalah menyaksikan dengan mata kepala. Secara terminologi, tasawuf adalah menyaksikan secara jelas dan sadar apa yang dicarinya (Allah) atau penyaksian terhadap kekuasaan dan keagungan Allah. Seorang sufi telah mencapai musyahadah ketika sudah merasakan bahwa Allah telah hadir atau Allah telah berada dalam hatinya dan seseorang sudah tidak menyadari segala apa yang terjadi, segalanya tercurahkan pada yang satu, yaitu Allah, sehingga tersingkap tabir yang menjadi senjangan antara sufi dengan Allah. Dalam situasi seperti itu, seorang sufi memasuki tingkatan ma’rifat, di mana seorang sufi seakan-akan menyaksikan Allah dan melalui persaksiannya tersebut maka timbullah rasa cinta kasih.
Perpaduan antara pengetahuan dan rasa cinta yang mendalam lagi dengan adanya perjumpaan secara langsung, maka tertanamlah dalam qalb perasaan yang mantap tentang Allah. Perasaan mantapnya pengetahuan yang diperoleh dari pertemuan secara langsung itulah yang dinamakan al-yaqin. Jadi, al-yaqin berarti perpaduan antara pengetahuan yang luas serta mendalam dan rasa cinta serta rindu yang mendalam pula sehingga tertanamlah dalam jiwanya perjumpaan secara langsung dengan Tuhannya. Dalam pandangan al-Junaid, yaqin adalah tetapnya ilmu di dalam hati, tidak berbalik, tidak berpindah dan tidak berubah. Dengan demikian, yaqin adalah kepercayaan yang kokoh, tak tergoyahkan tentang kebenaran pengetahuan yang dimiliki.[16]







BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1.        Yang dimaksud dengan Tasawuf Irfani adalah tasawuf yang berusaha menyingkap hakikat kebenaran atau makrifat yang diperoleh dengan tidak melalui logika atau pemebelajaran atau pemikiran, tetapi melalui pemberian Tuhan (mauhibah). Ilmu itu diperoleh karena seorang sui berupaya melakukan tasfiyat al-Qalb. Dengan hati yang suci seseorang dapat berdialog secara batiniah dengan Tuhan, sehingga pengetahuan atau makrifat dimasukkan Allah ke dalam hatinya (qalb).
2.        Yang dimaksud dengan Ahwal dan Maqomat yaitu :
Ahwal : secara bahasa, ahwal merupakan jamak dari kata tunggal hal yang berarti keadaan sesuatu (keadaan rohani). Menurut Syeikh Abu Nashr as-Sarraj, hal adalah sesuatu yang terjadi secara mendadak yang bertempat pada hati nurani dan tidak mampu bertahan lama, sedangkan menurut al-Ghazali, hal adalah kedudukan atau situasi kejiwaan yang dianugerahkan Allah kepada seseorang hamba pada suatu waktu, baik sebagai buah dari amal saleh yang mensucikan jiwa atau sebagai pemberian semata.
Maqomat : merupakan jamak dari kata maqam yang berarti tempat berpijak atau pangkat mulia. Dalam Bahasa Inggris maqamat dikenal dengan istilah stages yang berarti tangga. Sedangkan dalam ilmu Tasawuf, maqamat berarti kedudukan hamba dalam pandangan Allah berdasarkan apa yang telah diusahakan, baik melalui riyadhah, ibadah, maupun mujahadah.







Daftar Pustaka
Buku :
Alibaba, Cecep,  2012. Tasawuf dan Tarekat. (Bandung: PT.Remaja Rosdaarya)
Mahfud, 2016. Akhlak Tasawuf. (Cirebon: Al-Tarbiyah Press IAIN Syekh Nurjati Cirebon)
Amin, Samsul Munir,2012. Ilmu Tasawuf. (Jakarta: Amzah)
Nata, Abuddin, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011)
Internet :
Jurnal :
Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel, Akhlak Tasawuf, (Surabaya: IAIN SA Press, 2011)




[1] Dr. H. Cecep Alba. 2012. Tasawuf dan Tarekat. (Bandung: PT.Remaja Rosdaarya) hlm 92
[2] Drs. H. Mahfud, M.Ag. 2016. Akhlak Tasawuf. (Cirebon: Al-Tarbiyah Press IAIN Syekh Nurjati Cirebon) hlm 109
[3] Dr. H. Cecep Alba. 2012. Tasawuf dan Tarekat. (Bandung: PT.Remaja Rosdaarya) hlm 92-94

[4] Drs. Samsul Munir Amin, M.A. 2012. Ilmu Tasawuf. (Jakarta: Amzah) hlm 185
[5] Drs. H. Mahfud, M.Ag. 2016. Akhlak Tasawuf. (Cirebon: Al-Tarbiyah Press IAIN Syekh Nurjati Cirebon) hlm 110-111
[6][6] Drs. Samsul Munir Amin, M.A. 2012. Ilmu Tasawuf. (Jakarta: Amzah) hlm 186
[7] Drs. H. Mahfud, M.Ag. 2016. Akhlak Tasawuf. (Cirebon: Al-Tarbiyah Press IAIN Syekh Nurjati Cirebon) hlm 114
[8] Drs. Samsul Munir Amin, M.A. 2012. Ilmu Tasawuf. (Jakarta: Amzah) hlm188-189
[9] Drs. H. Mahfud, M.Ag. 2016. Akhlak Tasawuf. (Cirebon: Al-Tarbiyah Press IAIN Syekh Nurjati Cirebon) hlm117
[11] Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), h.193-194

[15] Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), h.202
[16] Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel, Akhlak Tasawuf, (Surabaya: IAIN SA Press, 2011), h.272-273

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.