Header Ads

Breaking News
recent

Makalah Tafsir : QS. An-Nahl ayat 125 tentang Metode Dakwah

BAB I
PENDAHULUAN
A.       Latar Belakang
Islam merupakan agama yang mengemban konsep Rahmatan lil ‘Alamin atau lebih dikenal dengan Islam sebagai payungnya cakrawala dunia. Karena dengannya akan terbentuk atsmosfer kehidupan dunia yang berjalan sesuai dengan aturan dari Sang Khaliq dan tentunya sesuai dengan Sunatullah.
Untuk mewujudkan hal yang demikian, maka Allah swt memberikan misi besar kepada Nabi Muhammad saw sebagai manusia pilihan yang menjadi motor penggerak dalam usaha membangun keadaan yang ideal tersebut dengan aturan-aturan Islam yang ada. Maka dengan jalan dakwah lah Allah swt memerintahkan kepada Rasul saw untuk berusaha mengajak setiap insan manusia ke jalan kebenaran, yakni Islam ini.
Tentunya dalam perjalanan dakwah yang ada, beliau saw memiliki beberapa strategi sebagai langkah akurat yang mana dalam hal ini beliau saw telah dibimbing oleh Allah swt melaui salah satu firman-Nya.
Munculnya konsep metode dakwah yang ada dimaksudkan untuk menghadapi statifikasi keilmuan dalam masyarakat luas, dimana mereka pada dasarnya memiliki tingkat keilmuan dan pemahaman yang berbeda. Dengan adanya berbagai macam konsep metode dakwah yang ada, maka diharapkan proses penyebar luasan Islam sebagai Rahmatan lil ‘Alamin ini dapat tercapai dengan baik.
Namun selaku manusia yang secara sederhana, Nabi saw adalah sama dengan manusia yang lainnya, maka pada suatu ketika sampailah Nabi saw pada suatu titik kemarahan yang amat sangat, sehingga hal ini nantinya akan menjadikan salah satu sebab turunya ayat pendamping dalam proses perealisasian dan aktualisasi konsep dakwah yang ada sebelumnya.
Tentunya proses dakwah yang dilakukan oleh Nabi saw memerlukan perjalanan yang panjang, menaik dari anak tangga yang satu ke yang lainnya, hingga pada akhirnya proses dakwah ini sampailah pada generasi penerusnya.
Konsep dakwah yang telah beliau saw ajarkan merupakan petunjuk praktis yang dapat dijadikan refrensi segar dalam mengemban dan melanjutkan prosesi dakwah yang notabenenya proses dakwah ini tidak memiliki batasan akhir waktunya. Karena setiap zaman akan terdapat persoalan yang berbeda dengan persoalan yang sebelumnya. Sehingga tidak menutup kemungkinan bahwa bobot tantangan dakwah pada generasi yang baru akan sampai pada benteng yang tinggi dan kuat.
Oleh karena itu, dakwah Islam ini dengan metode yang ada harus senantiasa diemban dan dipegang erat dengan maksud agar terjaganya nilai-nilai Islam yang murni dan tidak dicampuri oleh nafsu hati manusia yang tidak faham akan konsep Rahmatan lil ‘Alamin ini.
B.       Rumusan Masalah
-         Apa sajakah konsep metode dakwah dalam surah An-Nahl ayat 125-126?
C.       Tujuan Makalah
-         Untuk mengetahui konsep dakwah yang terdapat dalam surah An-Nahl ayat 125-126






BAB II
PEMBAHASAN
A.        Surah An-Nahl ayat 125-127
ٱدۡعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِٱلۡحِكۡمَةِ وَٱلۡمَوۡعِظَةِ ٱلۡحَسَنَةِۖ وَجَٰدِلۡهُم بِٱلَّتِي هِيَ أَحۡسَنُۚ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعۡلَمُ بِمَن ضَلَّ
عَن سَبِيلِهِۦ وَهُوَ أَعۡلَمُ بِٱلۡمُهۡتَدِينَ ١٢٥ وَإِنۡ عَاقَبۡتُمۡ فَعَاقِبُواْ بِمِثۡلِ مَا عُوقِبۡتُم بِهِۦۖ وَلَئِن صَبَرۡتُمۡ لَهُوَ خَيۡرٞ
 لِّلصَّٰبِرِينَ ١٢٦
Artinya :
        (125) Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.
(126) Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Akan tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar.
B.        Penjelasan Makna Penting
-            وَٱلۡمَوۡعِظَةِ ٱلۡحَسَنَةِ             : Dengan hikmah dan pelajaran yang baik. Maksudnya yaitu ketika mengajak manusia ke jalan Allah swt hendaknya dengan cara yang baik, lemah lembut, dan tidak menyinggung perasaan mereka serta sesuai dengan porsinya.
-         وَجَٰدِلۡهُم بِٱلَّتِي هِيَ أَحۡسَنُ    : Bantahlah mereka dengan cara yang baik. Maksudnya yaitu ketika berdakwah dan mereka membantah dakwah yang diberikan. Maka balaslah bantahan mereka dengan bantahan yang tidak menyulut api kemarahan.
-         أَعۡلَمُ بِمَن ضَلَّ                  : Mengetahui tentang siapa yang tersesat. Maksudnya Allah swt lebih mengetahui tentang siapa orang yang tersesat dari jalan kebenaran.
-         فَعَاقِبُواْ بِمِثۡلِ مَا عُوقِبۡتُم بِه   : Maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Maksudnya dibolehkan hukumnya untuk membalas perbuatan jahat yang ditimpakan kepada diri seseorang. Dengan syarat balasan tersebut sama kadar-bobotnya dengan perbuatan jahat yang dirasakan atau diterima.
-         صَبَرۡتُمۡ لَهُوَ خَيۡرٞ                : Kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik. Maksudnya memang secara hukum diperbolehkan untuk membalas perbuatan jahat yang dilakukan oleh seseorang. Akan tetapi, apabila kita bersabar, maka itulah yang lebih baik disisi-Nya.
C.        Gambaran Umum Mengenai Surah An-Nahl
Surah An-Nahl (bahasa Arab:النّحل, an-Nahl, "Lebah") adalah surah ke-16 dalam al-Qur'an. Surah ini terdiri atas 128 ayat dan termasuk golongan surah-surah Makkiyah. Surah ini dinamakan An-Nahl yang berarti lebah karena di dalamnya, terdapat firman Allah swt SWT ayat 68 yang artinya : "Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah". [1]
Lebah adalah makhluk Allah swt yang banyak memberi manfaat dan kenikmatan kepada manusia. Ada persamaan antara madu yang dihasilkan oleh lebah dengan Al Quranul Karim. Madu berasal dari bermacam-macam sari bunga dan dia menjadi obat bagi bermacam-macam penyakit manusia, yakni sebagaimana tertera dalam ayat ke 69 dari surah ini. Sedang Al Quran mengandung inti sari dari kitab-kitab yang telah diturunkan kepada Nabi-nabi zaman dahulu ditambah dengan ajaran-ajaran yang diperlukan oleh semua bangsa sepanjang masa untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.
An‑Nahl (lebah) di sini tidak lain dari makhluk yang mendapat berkat yang dimuliakan Allah swt, yang mendapat wahyu dan ilham‑Nya sehingga ia dapat menempuh jalan hidupnya. Dalam Lisan Al‑Arab, an‑Nahl (bentuk mufradnya/tunggalnya an‑Nahlah) adalah serangga penghasil madu. Abu Ishaq az‑Zujaj mengatakan tentang firman Allah swt Azza wa Jalla yang berbunyi: ” Tuhanmu mewahyukan kepada lebah.” Boleh jadi dinamakan Nahl (lebah) karena Allah swt Azza wa jalla menjadikan manusia mengambil madu yang keluar dari perutnya (dengan pe­ngertian Allah swt memberikan kepadanya).
Pendapat yang lain mengatakan bahwa kata itu berasal dari bahasa Arab. An‑Nahl dapat dipandang sebagai mudzakkar (maskulin) dan sebagai mu’annats (feminin). Ia dijadikan Allah swt sebagai kata mu’annats pada firman‑Nya anittakhidziy min al jibaal buyuutanSupaya kamu (feminin) mengambil tempat tinggal di gunung‑gunung…” Orang yang memandangnya sebagai mudzakkar karena lafaznya adalah mudzakkar (Nahl) dan orang yang memandangnya sebagai mu’annats karena ia adalah kata jamak da­ri Nahlah.
Dalam hadits riwayat Ibnu Umar disebutkan: “Perumpamaan orang beriman adalah seperti lebah. Bila ia makan, maka ia makan yang baik dan bila jatuh, maka ia jatuh atas yang baik.” Riwayat terkenal menyebutkan bahwa ia dibaca dengan al‑halal‑mu’jamah, yaitu sebagai kata mufrad dari nihal (agama‑agama). Dalam riwayat yang lain dikatakan bahwa ia dibaca dengan al-ha’al‑muhmalah (Nahl) untuk menunjukkan madu lebah. Segi kesamaan antara keduanya adalah ketelitian dan kejelian lebah, bahayanya yang sedikit, keahlian, kegunaan, keberdikarian dan usahanya di malam hari, kebersihannya dari kotoran dan makanannya yang baik. Ia tidak makan dari usaha orang lain.”[2]
Disebutkan dalam beberapa tafsir bahwa an‑nahal (dengan ha’ berbaris di atas) dinamakan demikian karena Allah swt memberikan (nahalahu) madu yang keluar dari tubuhnya. An‑Nahl menurut logat penduduk Hejaz dipandang sebagai kata mu’annats dan setiap kata jamak di mana antara kata jamak dan mufradnya tidak dibatasi selain oleh al‑ha’. Disebutkan juga bahwa lebah itu ada dua jenis. Satu jenis hidup di gunung‑gunung dan hutan‑hutan yang tidak terbiasa dengan manusia dan jenis satu lagi hidup di rumah‑rumah penduduk dan sudah terbiasa dengan manusia. 
Sains modern telah menjelaskan dan menegaskan semua ini. Terbukti dari pengkajian dan penelitian yang dilakukan oleh para saintis dalam bidang ini bahwa kata an‑Nahl (lebah) yang dimaksud adalah kata umum yang mencakup, banyak jenis. Kata ini dipakai untuk semua serangga yang kerjanya mengumpulkan saripati bunga (nektar) dan bibit pembuahan. Serangga ini beserta anak-anaknya mengambil makanan dari saripati ini dan tubuhnya dialiri oleh berbagai pembuluh kecil.
Surah ini dinamakan juga dengan Surah An-Ni’am yang berarti nikmat-nikmat, karena di dalamnya Allah swt swt menyebutkan beberapa nikmat untuk hamba-hamba-Nya.[3]
QS. An-Nahl ayat 125-126 merupakan ayat yang sudah akrab dengan keseharian umat Islam. Karena ayat ini merupakan dalil andalan dalam menyebarluaskan Islam ke seluruh penjuru. Dalam ayat ini, Allah swt memberikan panduan-metode kepada Rasululloh saw dalam mengemban dakwah Islam ini. Dimana secara garis besar, metode yang dimaksud disini yaitu dengan hikmah, pelajaran yang baik, serta prosesi diskusi-debat yang adem. Dan apabila kita mendapat gangguan dalam dakwah, maka kita dibolehkan untuk membalasnya. Atau memilih bersabar sebagai alternatif pilihan yang lebih baik.
D.       Asbabun-Nuzul QS. An-Nahl ayat 125-126
     Dalam pembahasan dari beberapa refrensi buku tafsir, telah didapati bahwa ayat 125 dari Surah An-Nahl asbabun nuzulnya yaitu ketika Hamzah gugur dalam perang Uhud dan dalam keadaan tercincang. Ketika Nabi saw melihat keadaan jenazahnya, lalu beliau saw bersumpah melalui sabdanya : “Sesungguhnya aku bersumpah akan membalas 70 orang dari mereka sebagai penggantimu”.
     Namun berbeda halnya dengan ayat ke 126. Para mufasir berbeda pendapat seputar sabab an-nuzul (latar belakang turunnya) ayat ini. Al-Wahidi menerangkan bahwa ayat ini turun setelah Rasulullah SAW menyaksikan jenazah 70 sahabat yang syahid dalam Perang Uhud, termasuk Hamzah, paman Rasulullah.[4] Al-Qurthubi menyatakan bahwa ayat ini turun di Makkah ketika adanya perintah kepada Rasulullah SAW, untuk melakukan gencatan senjata (muhadanah) dengan pihak Quraisy. Akan tetapi, Ibn Katsir tidak menjelaskan adanya riwayat yang menjadi sebab turunnya  ayat tersebut.
     Meskipun demikian, ayat ini tetap berlaku umum untuk sasaran dakwah siapa saja, Muslim ataupun kafir. Sebab, ungkapan yang ada memberikan pengertian umum. Ini berdasarkan kaidah ushul: 
أَنَّ الْعِبْرَةَ لِعُمُومِ اللَّفْظِ لَا بِخُصُوصِ السَّبَب

        Artinya: “Yang menjadi patokan adalah keumuman ungkapan, bukan kekhususan sebab
            Setelah kata ud‘u (serulah) tidak disebutkan siapa obyek (maf‘ûl bih)-nya. Ini adalah uslub (gaya pengungkapan) bahasa Arab yang memberikan pengertian umum (li at-ta’mîm).
            Dari segi siapa yang berdakwah, ayat ini juga berlaku umum. Meski ayat ini adalah perintah Allah swt kepada Rasulullah, perintah ini juga berlaku untuk umat Islam. Sebagaimana kaidah dalam ushul fikih
   خطاب الرسول خظاب لامته مالم يرد دليل التحصيص
        Artinya: “Perintah Allah swt kepada Rasulullah, perintah ini juga berlaku untuk umat Islam, selama tidak ada dalil yang mengkhususkannya.[5]
            Namun lebih jelasnya, Imam Baihaqi didalam kitabnya Ad-Dala’ilnya, dan Imam Bazzar telah mengetengahkan sebuah hadits melalui Abu Huroiroh ra yang telah menceritakan bahwa Rasululloh saw berdiri dihadapan jenazah Hamzah ra ketika ia gugur sebagai syuhada, sedang keadaannya sangat menyedihkan sekali karena tercincang.[6] Maka Rasululloh saw bersumpah kala itu melalui sabdanya : “Sungguh aku akan membalas perbuatan ini dengan 70 orang dari kalangan mereka sebagai penggantimu”. Maka pada saat itu turunlah Malaikat Jibril kepada Nabi saw yang pada waktu itu sedang berdiri, seraya membawa wahyu ayat-ayat terakhir surah An-Nahl, yaitu ayat 126 ini. Kemudian Rasululloh menahan diri dari apa yang dikehendakinya itu.[7]
E.        Tafsir QS. An-Nahl ayat 125-126
1.   Tafsir Al-Qur’an Kementerian Agama RI
(125) Dalam ayat ini, Allah swt memberikan pedoman kepada Rasululloh saw tentang cara mengajak manusia (dakwah) ke jalan Allah swt. Jalan Allah swt disini maksudnya ialah agama Allah swt yakni syariat Islam yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw.[8]
Allah swt meletakan dasar-dasar dakwah untuk pegangan bagi umatnya di kemudian hari dalam mengemban tugas dakwah.
Pertama, Allah swt menjelaskan kepada Rasul-Nya bahwa sesungguhnya dakwah untuk agama Allah swt sebagai jalan menuju ridlo-Nya, bukan dakwah untuk pribadi dai (yang berdakwah) ataupun untuk golongan dan kaumnya. Rasul saw diperintahkan untuk membawa manusia ke jalan Allah swt dan untuk agama Allah swt semata.
Kedua, Allah swt menjelaskan kepada Rasul saw agar berdakwah dengan hikmah. Hikmah itu mengandung beberapa arti :
a.       Pengetahuan tentang rahasia dan faedah segala sesuatu. Dengan pengetahuan itu sesuatu dapat diyakini keberadaannya.
b.      Perkataan yang tepat dan benar yang menjadi dalil (argumen) untuk menjelaskan mana yang hak dan mana yang bathil atau syubhat (meragukan).
c.       Mengetahui hukum-hukum Al-Qur’an, paham kepada Al-Qur’an, paham agama, takut kepada Allah swt, serta benar perkataan dan perbuatan.
Arti hikmah yang paling mendekati kebenaran ialah arti pertama yaitu pengetahuan tentang rahasia dan faedah sesuatu, yakni pengetahuan itu memberi manfaat.
Dakwah dengan hikmah adalah dakwah dengan ilmu pengetahuan yang berkenaan dengan rahasia, faedah, dan maksud dari wahyu Ilahi, dengan cara yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi, agar mudah difahami umat.[9]
Ketiga, Allah swt menjelaskan kepada Rasul agar dakwah itu dijalankan dengan pengajaran yang baik, lemah lembut, dan menyejukan, sehingga dapat diterima dengan baik.
Tidak patut jika pengajaran dan pengajian selalu menimbulkan rasa gelisah, cemas, dan ketakutan dalam jiwa manusia. Orang yang melakukan perbuatan dosa karena kebodohan atau ketidaktahuan, tidak wajar jika kesalahannya itu dipaparkan secara terbuka dihadapan orang lain sehingga menyakiti hatinya.
Khutbah atau pengajian yang disampaikan dengan bahasa yang lemah lembut, sangat baik untuk melembutkan hati yang liar dan lebih banyak memberikan ketentraman daripada khutbah dan pengajian yang isinya ancaman dan kutukan-kutukan yang mengerikan. Namun demikian, menyampaikan peringatan dan ancaman dibolehkan jika dikondisinya memungkinkan dan memerlukan.
Untuk menghindari kebosanan dalam pengajian, Rasul saw menyisipkan dan mengolah bahan pengajian yang menyenangkan dengan bahan yang menimbulkan rasa takut. Dengan demikian, tidak terjadi kebosanan yang disebabkan uraian pengajian yang berisi perintah dan dan larangan tanpa memberikan bahan pengajian yang melapangkan dada atau yang merangsang hati untuk melakukan ketaatan dan menjauhi larangan.
Keempat, Allah swt menjelasakan bahwa bila terjadi perdebatan dengan kaum musyrikin dan ahli kitab, hendaknya Rasul saw membantah dengan cara yang baik. Suatu contoh perdebatan yang baik ialah perdebatan Nabi Ibrahim as dengan kaumnya yang mengajak mereka berfikir untuk memperbaiki kesalahan mereka sendiri, sehingga menemukan kebenaran. Tidak baik memancing lawan dalam berdebat dengan kata yang tajam, karena hal demikian akan membuat suasana yang panas. Sebaiknya diciptakan suasana nyaman dan santai sehingga tujuan dalam perdebatan untuk mencari kebenaran itu dapat tercapai dengan memuaskan.[10]
Perdebatan yang baik adalah perdebatan yang dapat menghambat timbulnya sifat manusia yang negatif seperti sombong, tinggi hati, dan berusaha mempertahankan harga diri karena sifat-sifat tersebut sangat tercela. Lawan berdebat supaya dihadapi sedemikian rupa sehingga dia merasa bahwa harga dirinya dihormati, dan dai menunjukan bahwa tujuan yang utama ialah menemukan kebenaran kepada agama Allah swt.
Kelima, akhir dari segala usaha dan perjuangan itu adalah iman kepada Allah swt, karena hanya Dia lah yang menganugerahkan iman kepada jiwa manusia. Bukan orang lain ataupun dai itu sendiri. Dialah Tuhan Yang Maha Mengetahui siapa diantara hamba-Nya yang tidak dapat mempertahankan fitrahnya insaniyah (iman kepada Allah swt) dari pengaruh-pengaruh yang menyesatkan, hingga dia menjadi sesat, dan siapa pula diantara hamba yang fitrah insaninya tetap terpelihara sehingga dia terbuka menerima petunuk (hidayah) Allah swt.
(126) Berdasarkan riwayat Abu Hurairah ra bahwa sesungguhnya Nabi Saw berdiri di hadapan Hamzah ketika terbunuh sebagai syahid dalam perang Uhud.[11] Tidak ada pemandangan yang paling menyakitkan hati Nabi daripada melihat jenazah Hamzah yang di cincang (mutilasi). Lalu Nabi bersabda, “Semoga Allah swt mencurahkan rahmat kepadamu. Sesungguhnya engkau sepengetahuanku adalah orang yang senang silaturrahim dan banyak berbuat kebaikan. Kalau bukan karena kesedihan berpisah denganmu, sungguh aku lebih senang bersamamu sampai di Padang Mahsyar bersama para arwah. Demi Allah swt aku akan membalas dengan balasan yang setimpal tujuh puluh orang dari mereka sebagai penggantimu.”maka Jibril turun dengan membawa ayat-ayat di akhir surat An-Nahl. “Dan jika kamu membalas, maka balaslah dengan (balasan) yang sama dengan siksaan yang di timpalkan kepadamu, tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang yang sabar”. Pada saat itu Rasulullah berdiri di hadapan jenazah Hamzah.
Dalam ayat ini Allah swt swt menegaskan kepada kaum muslimin, yang akan mewarisi perjuangan Nabi Muhammad dalam menyebarkan agama islam, untuk menjadikan sikap Rasul di atas sebagai pegangan mereka menghadapi lawan.
Pedoman dakwah yang di berikan Allah swt pada ayat yang lalu, adalah pedoman dalam medan dakwah dengan lisan, hujjah lawan hujjah. Dakwah berjalan dalam suasana damai. Akan tetapi, jika dakwah mendapat perlawanan yang kasar, misalkan para dai di siksa atau dibunuh, islam menjungjung tinggi kebenaran. Dua macam jalan yang di terangkan Allah swt dalam ayat ini, pertama; membalas dengan balasan yang seimbang. Kedua ; menerima tindakan bermusuhan itu dengan hati yang sabar dan memaafkan kesalahan itu jika bisa memberi pengaruh yang lebih baik lagi bagi jalannya dakwah.[12]
Menurut Ibnu Katsir, ayat ini mempunyai makna dan tujuan yang sama dengan beberapa ayat dalam Al-Quran yaitu mengandung keharusan adil dari dorongan berbuat keutamaan , seperti firman Allah swt :
وَجَزَٰٓؤُاْ سَيِّئَةٖ سَيِّئَةٞ مِّثۡلُهَاۖ فَمَنۡ عَفَا وَأَصۡلَحَ فَأَجۡرُهُۥ عَلَى ٱللَّهِۚ إِنَّهُۥ لَا يُحِبُّ ٱلظَّٰلِمِينَ ٤٠
Artinya : Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, maka barang siapa memaafkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim. (Q.S Asy-Syura : 40).
Firman Allah swt :
وَكَتَبۡنَا عَلَيۡهِمۡ فِيهَآ أَنَّ ٱلنَّفۡسَ بِٱلنَّفۡسِ وَٱلۡعَيۡنَ بِٱلۡعَيۡنِ وَٱلۡأَنفَ بِٱلۡأَنفِ وَٱلۡأُذُنَ بِٱلۡأُذُنِ وَٱلسِّنَّ بِٱلسِّنِّ
 وَٱلۡجُرُوحَ قِصَاصٞۚ فَمَن تَصَدَّقَ بِهِۦ فَهُوَ كَفَّارَةٞ لَّهُۥۚ وَمَن لَّمۡ يَحۡكُم بِمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلظَّٰلِمُونَ ٤٥
Artinya : Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka (pun) ada qishaashnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak qishaash)nya, maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim. (Q.S Al-Maidah/5 : 45).[13]
2.   Tafsir Jalalain
(125) ٱدۡعُ  (serulah) manusia, hai Muhammad إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ  (kepada jalan Rabbmu) yakni agama-Nyaبِٱلۡحِكۡمَةِ  (dengan hikmah) dangan Al-Quran وَٱلۡمَوۡعِظَةِ ٱلۡحَسَنَةِ  (dan pelajaran yang baik) pelajaran yang baik atau nasihat yang lembut وَجَٰدِلۡهُم بِٱلَّتِي  (dan bertahanlah mereka dengan cara) bantahan هِيَ أَحۡسَنُ (yang baik) seperti menyeru mereka untuk menyembah Allah swt dengan menampilkan kepada mereka tanda-tanda kebesaran-Nya atau dengan hujjah-hujjah yang jelas. إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعۡلَمُ  (seungguhnya Rabbmu Dia-lah Yang lebih mengetahui) atau Maha Mengetahui-   بِمَن ضَلَّ عَن سَبِيلِهِۦ وَهُوَ أَعۡلَمُ بِٱلۡمُهۡتَدِينَ  (tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia-lah Yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk) maka Dia membalas mereka; ayat ini diturunkan sebelum diperintahkan untuk memerangi orang-orang kafir. dan diturunkan ketika Hamzah gugur dalam keadaan tercincang; ketika Nabi saw melihat keadaan jenazahnya, lalu beliau saw. bersumpah melalui sabdanya: “sungguh aku bersumpah akan membalas tujuh puluh orang dari mereka sebagai penggantimu”
(126) وَإِنۡ عَاقَبۡتُمۡ فَعَاقِبُواْ بِمِثۡلِ مَا عُوقِبۡتُم بِهِۦۖ وَلَئِن صَبَرۡتُمۡ  (dan jika kalian memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepada kalian. akan tetapi jika kalian bersabar) tidak mau membalas
لَهُوَ (sesungguhnya itulah) bersikap sabar itulah لِّلصَّٰبِرِينَ خَيۡرٞ (yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar), kemudian Nabi saw. membatalkan sumpahnya itu, dan membayar kiffaratnya. demikianlah menurut hadits yang telah diriwayatkan oleh Imam Bazzar.[14]
3.    Tafsir Ibnu Katsir 
(125) Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.
Tafsirnya : Allah swt menyuruh Rasul-Nya berseru kepada manusia mengajak mereka ke jalan Allah swt dengan hikmah kebijaksanaan dan nasihat serta anjuran yang baik. Dan jika orang-orang itu mengajak berdebat, maka bantahlah mereka dengan cara yang baik. Allah swt lebih mengetahui tentang siapa yang durhaka tersesat dari jalan-Nya dan siapa yang bahagia dalam jalan yang lurus yang ditunjukan oleh Allah swt. Maka janganlah menjadi kecil hatimu, hai Muhammad saw, bila ada orang-orang yang tidak mau mengikutimu dan tetap berada dalam jalan yang sesat. Tugasmu hanyalah menyampaikan apa yang diwahyukan oleh Allah swt kepadamu dan memberikan peringatan kepada mereka. Sedang Allah swt-lah yang akan menentukan dan memberi petunjuk, serta Dia-lah yang akan meminta pertanggungjwaban hamba-hamba-Nya kelak di hari kiamat.
(126) Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Akan tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar.
Tafsirnya : Allah swt berfirman memerintahkan orang berlaku adil dalam membalas perlakuan yang tidak patut dan wajar dari orang lain. Hendaklah ia melakukan pembalasan sama dan seimbang dengan perlakuan yang diterimanya. Akan tetapi jika ia dapat menahan dirinya dan bersabar, maka kesabaran itu adalah lebih baik bagi orang-orang yang bersabar.[15]
F.            Pembahasan Kelompok
(125) Ayat ini dan beberapa ayat selanjutnya yang menjadi ayat-ayat terakhir surat An-Nahl mengajak Rasulullah SAW.  dan seluruh pendidikan dan ilmuwan Islam agar menggunakan cara yang tepat dalam mengajak manusia menuju kebenaran.  Karena semua orang tidak dapat diajak lewat satu cara saja. Artinya, hendaknya berbicara kepada orang lain sesuai dengan kemampuan dan informasi yang dimilikinya. Oleh karenanya, ketika menghadapi ilmuwan dan orang yang berpendidikan hendaknya menggunakan argumentasi yang kuat. Menghadapi orang awam atau masyarakat kebanyakan hendaknya memberikan pelajaran atau nasihat yang baik. Sementara membantah atau berdialog dua arah dengan mereka yang keras kepala harus dilakukan dengan cara yang baik dan berpengaruh.
Mengajak orang lain kepada kebenaran dengan cara hikmah senantiasa baik dan dapat diterima. Karena argumentasi yang berlandaskan akal adalah kokoh dan menjadi dasar bagi semua orang berakal dalam berdialog dan berinteraksi. Namun cara memberikan pelajaran atau nasihat dan bantahan atau dialog dapat dinilai baik atau buruk.
Oleh karenanya sekaitan dengan nasihat Allah swt memberikan penekanan Mau’izhah Hasanah yang berarti memberikan pelajaran yang baik, sementara terkait bantahan memerintahkan memberikan bantahan yang ahsan (terbaik). Karena sering terjadi nasihat yang disampaikan disertai rasa bangga bahkan sombong dari orang yang memberikan nasihat dan menghina mereka yang dinasihati.
Dalam kondisi yang demikian hasil yang diinginkan malah sebaliknya. Mereka yang diajak kepada kebenaran bukan saja menjadi benci kepada yang memberikan nasihat, bahkan boleh jadi malah membenci kebenaran.
Sekaitan dengan masalah membahas dan membantah, al-Quran merekomendasikan umat Islam agar membantah pandangan orang lain dengan cara terbaik. Karena tujuan yang diinginkan adalah menarik dan menyeru orang pada kebenaran, bukan berdebat dan adu mulut yang berujung pada semakin kuatnya sikap keras kepala dan penentangan terhadap kebenaran. Membahas satu masalah dengan mereka yang menentang harus berdasarkan kebenaran, keadilan dan kejujuran, bukan kelicikan, kebohongan dan penghinaan.
Selanjutnya ayat menyebutkan, “Kewajiban kalian adalah mengajak masyarakat kepada kebenaran. Masalah siapa yang bakal menerima atau tidak bukan urusan kalian. Allah swt lebih mengetahui siapa yang menerima kebenaran dalam hatinya atau tidak menerimanya.”
Dari ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik:
1. Dakwah agama harus memanfaatkan beragam cara dan berdasarkan kondisi dan kebutuhan yang diajak agar apa yang disampaikan dapat berpengaruh.
2. Dalam mengajk masyarakat kepada Allah swt, harus memanfaatkan sisi rasional dan emosional agat lebih berpengaruh dan lebih dapat diterima.
(126) Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Akan tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar.
Sebagai kelanjutan ayat sebelumnya yang memberikan cara agar membahas dan membantah satu masalah dengan mereka yang tidak setuju harus dilakukan dengan cara yang tepat, ayat ini malah mengatakan, “Bila mereka berbuat lebih dari itu dan melakukan hal yang melampaui batas, kalian juga dapat melakukan hal yang sama. Namun bila kalian tidak melakukan pembalasan dan memilih untuk bersabar, sikap ini malah menguntungkan.”
Disebagian riwayat-riwayat sejarah mengenai kejadian setelah syahadah Hamzah, paman Nabi Muhammad Saw di perang Uhud dengan tubuh tercabik-cabik oleh Wahsyi, Rasulullah bersabda, “Bila aku menemukan Wahsyi, niscaya tubuhnya kucabik-kucabik seperti Hamzah.” Namun setelah turun ayat ini Rasulullah Saw kemudian bersabda, “Saya akan bersabar dan memaafkannya.”
Dari ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik:
1. Saat menyikapi musuh dan mereka yang menentang, Al-Quran memerintahkan kita untuk tetap bersikap adil dan tidak melanggar batas.
2. Dalam kesabaran adalah kenikmatan yang tidak dimiliki oleh balas dendam. Saat menghadapi para penentang, hukum dengan sendirinya tidak dapat berbuat apa-apa perlu adanya upaya untuk menjaga akhlak.













BAB III
PENUTUP
A.       Kesimpulan
Metode dakwah dalam surah An-Nahl ayat 125-126 terdapat tiga cara efektif, yakni
-       Dengan hikmah
-       Dengan pelajaran yang baik, dan
-       Dengan jalan debat yang tidak menimbulkan dampak tidak baik
B.       Saran
Dalam menyebarkan atau mendakwahkan ajaran-ajaran Islam haruslah memeperhatikan objek dakwahnya. Sehingga proses dakwah akan berjalan dengan baik dan dapat diterima oleh masyarakat dengan baik pula. Hal ini juga dimaksudkan agar pemilihan metode dakwah yang telah dicontohkan oleh Rasul saw dapat diakuratkan dengan kebutuhan masyarakat yang akan dijadikan sebagai objek dakwah.







DAFTAR PUSTAKA
A.       Buku
Al-Mahalliy, Imam Jalalud-Din dan As-Syuthi, Imam Jalalud-Din, Tafsir Jalalain berikut Asbabun-Nuzul Ayat, 1990, (Bandung : Sinar Baru)
Bahreisy, H. Salim dan Bahreisy, H. Said, Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsier, Jilid IV, 1988, (Surabaya : PT. Bina Ilmu)
RI, Kementerian Agama, Al-Qur’an dan Tafsirnya, Jilid V, 2010, (Jakarta : Lentera Abadi)
B.       Internet




[1] Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, Jilid V, 2010, (Jakarta : Lentera Abadi), Hal. 227
[3] Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya,.... Hal. 277
[6] Imam Jalalud-Din al-Mahalliy dan Imam Jalalud-Din As-Syuthi, Tafsir Jalalain berikut Asbabun-Nuzul Ayat, 1990, (Bandung : Sinar Baru). Hal. 1123
[7] Imam Jalalud-Din al-Mahalliy dan Imam Jalalud-Din As-Syuthi, Tafsir Jalalain berikut Asbabun-Nuzul Ayat,...... Hal. 1124
[8] Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya,.... Hal. 418
[9] Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya,.... Hal. 418
[10] Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya,.... Hal. 419
[11] Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya,.... Hal. 419
[12] Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya,.... Hal. 420
[13] Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya,.... Hal. 420
[14] Imam Jalalud-Din al-Mahalliy dan Imam Jalalud-Din As-Syuthi, Tafsir Jalalain berikut Asbabun-Nuzul Ayat,...Hal. 1117-1118
[15] Salim Bahreisy dan Said Bahreisy, Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsier, Jilid IV, 1988, (Surabaya : PT. Bina Ilmu). Hal.610-611

1 komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.