Header Ads

Breaking News
recent

Mukhobaroh Dalam Islam

Aplikatif Muhkobaroh yang Benar dalam Kehidupan Bermasyarakat


BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Islam merupakan agaama yang iturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW melalui perantara Malaikat Jibril AS yang mengatur segalaa sendi kehidupan manusia. Mulai dari hubungan manusia denga Sang Khaliq, manusia dengan sesama maupun manusia dengan dirinya sendiri. Oleh karena itu Islam dikenal sebagai Agama yang Rahmatan Lil ‘alamin.
Apabila ditelah secara mendalam aspek pengaturan Islaam terhadap kehidupan sosial-masyarakat cenderung lebih kompleks dari pada pengaturan Islam terhadap aspek sendi kehidupan yang lainnya. Sehingga berangkaat dari hal ini sudah barang tentu potensi kemudharatan lebih banyak didapat dari bentuk kerjasama antar sesaama manusia maupun masyarakat dalam suatu kelompok tertentu.
Masyarakat merupakan suatu tatanan yang memiliki berbagai macam kegiatan atau akrab dikenal dengan aktifitas sosial, dimana semua aktifitas yang dilakukan merupakan suatu bentuk implementasi dari keadaan masyarakat yang notabene tidak dapat memenuhi kebutuhannya sendiri. Melainkan masing-asing individu yang termasuk dalam anggota masyarakat lazim dikatakan sebagai makhluk sosial yang senaantiasa bergantung kepada yang lain, termasuk dalam kaitan hal ini adalah masyarakat secara makro.
Ketika masyarakat memulai aktifitas interaksinya dengan masyarakat yang lain dalam hal pemenuhan kebutuhan hidupnya maka ini lah yang sering diistilahkan sebagai suatu kegiatan Muamalah.
Sebagaimana disinggung diatas bahwa masyarakat juga memiliki sistem kelas sosial yang beragam. Hal ini memberikan indikator real bahwa dalam hubungan Muamalahnya, masyarakat ada yang berstatus sebagai “Tuan” ssebagai istilahnya dan “Mitra Kerja” sebagai istilah lainnya. Pembahasan akan hal ini mudah kita dapatkan dalam pelaksanaan Mukhobarah yang dilakukan oleh masyarakat itu sendiri.
Mukhobarah merupakan suatu bentuk praktek Muamalah yang didalamnya terdapat unsur kerjasama antara “Tuan” selaku pemilik kebun atau lahan dengan “Mmitra Kerja” yang bertugas mengelola kebun yang menjadi amanahnya. Bentuk kerjasama ini sering dilakukan oleh masyaarakat dan secara tidak sadar malahan mereka telah melakukannya dengan terlihat begitu lihainya.
Dalam salah satu bentuk aplikatif dari hubungan Muamalah dalam masyarakat ini, kerjasaama yang tertuang dalam Mukhobarah merupakan suatu bentuk kerjasama yang memiliki unssur manfaat yang sangat banyaak. Dikataakn demikian dikaarenakan antara pemilik tanah dengan penggarap tanah akan saling memiliki manfaat yang diperoleh bersama. Dalam kataa lain unsur kemashlahatan mudah ditemukan dalam bentuk kerjasama Mukhobaaroh ini.
Akan tetapi, dalam lingkup Mukhobarah yang terjadi di dalam masyarakat yang ada tidak lah semua sesuaai dengan sudut pandang Islam. Artinya ada pula praaktek Muhobaroh yang dalam aplikatifnya belum sesuai dengaan kaifiyat yang telah dijelaskan oleh syara’. Sehingga hal ini tidak menutup kemungkinan suaatu hal yang bermuara kepada kerugian salah satu pihak. Mungkin dari pihak penggarap maupun dari pihak pemilik tanah yang bersangkutan.
Apabila ditelaah secara ssederhana kesan yang tersimpaan dalam bentuk kerjasama ini adalah saling mengutungkan dari pihak yaang bersangkutan, namun dikarenaakan dari aplikatif yang belum sesuai dengan kaifiyat yang ada maka menjadi tidak heran apabila potensi kerugian dari bentuk kerjasama bisa terjadi. Baik kerugian yang dikarenakan oleh kesengajaan atau tidak.
B.       Rumusan Masalah
-          Bagaimanakah kaifiyat Mukhobarah yang baik dan benar sesuai dengan tuntunan syara’?
C.      Tujuan Makalah
-          Untuk mengetahui tentang kaifiyat Mukhobarah yang baik dan benar sesuai dengan tuntunan syara’?






BAB II
PEMBAHASAN
A.      Pengertian Mukhobarah
     Mukhobarah adalah bentuk kerja sama antara pemilik sawah atau tanah dan penggarap dengan perjanjian bahwa hasilnya akan dibagi antara pemilik tanah dan penggarap menurut kesepakatan bersama, sedangkan biaya, dan benihnya dari penggarap tanah.[1]
     Secara sederhana, Muhabarah diartikan sebagai paroan sawah atau ladang, seperdua, sepertiga, atau lebih atau kurang, sedangkan benihnya dari yang menggarap tanah atau lahan tersebut.[2]
     Perbedaan antara Muzara’ah dengan Mukhabarah hanya terletak dari benih tanam. Dalam Muzara’ah, benih tanam berasal dari pemilik tanah, sedangkan dalam Mukhabarah, benih tanam berasal dari pihak penggarap.[3]
Pada umumnya, kerja sama Mukhabarah ini dilakukan pada perkebunan yang benihnya relatif murah, seperti jagung, padi, dan kacang. Namun tidak tertutup kemungkinan pada tanaman yang benihnya relatif murah pun dilakukan kerja sama Muzara’ah.
B.       Dalil dan Hukum tentang Mukhobarah
Secara sederhana, suatu aktifitas akan menjadi formal dan memiliki rientasi yang jelas apabila aktifitas yang dimaksud memiliki payung hukum. Adanya landasan hukum yang ada akan memberikan legalitas tersendiri terhadap hukum pelaksanaan dari aktifitas yang ada. Ketika dasar hukum mengatakan boleh, maka tidak ada alasan unuk meninggalkan atau mengesampingkan aktifitas tersebut. Begitu pun sebaliknya apabila hukum mengatakan bahwa pelaksanan dari aktifitas tersebut dilarang, maka sifat larangan ini pasti melekat pada aktifitas yang ada dan mengindikasikan kepada kita untuk tidak adanya alasan bisa untuk tetap mengerjakannya.
Berkaitan dengan hukum Mukhabarah, maka Islam memandang pelaksanaan dari muamalah ini adalah boleh.
Kebolehan akan hukum Mukhabarah ini telah didukung dengan adanya suatu hadits yang telah dirawatkan oleh Muslim sebagai berikut :
“Dari Thawus ra bahwa ia suka bermukhabarah. Amru berkata : Lalu aku katakan kepadanya: Ya Abu Abdurrahman, kalau engkau tinggalkan Mukhabarah ini, nanti mereka mengatakan bahwa Nabi SAW telah melarang Mukhabarah. Lantas Thawus berkata: Hai Amr, telah menceritakan kepadaku orang yang sungguh-sungguh mengetahui akan hal itu, yaitu Ibnu Abbas bahwa Nabi SAW tidak melarang Mukhabarah itu, hanya beliau berkata: Seseorang memberikan manfaat kepada saudaranya lebih baik daripada ia mengambil manfaat dari saudaranya itu dengan upah tertentu”. (HR. Muslim).
Dalil hadits dari sahabat Thawus ra diatas telah memberikan kebolehannya dalam menjalankan praktek Mukhabarah dalam kehidupan dikala itu. Dan ditegaskan pula dalam hadits diatas bahwa yang dilarang bukan lah aktifitas kerjasama dari Mukhabarah. Namun hanya terdapat anjuran atau suatu perbuatan yang lebih utama apabila seseorang memberikan manfaat kepada orang lain, kepada saudara atau kepada siapa pun, tanpa ia mengambil manfaat dari saudaranya itu dengan upah tertentu.
Sebagaimana kita ketahui dalam pelaksanaan muamalah Muhabarah bahwa ketika waktu pelaksanaan telah selesai atau dapat pula dikatakan bahwa kelola lahan yang ada telah membuahkan hasil, maka hasil yang ada akan dibagi keduanya atau pihak yang terlibat dalam aktifitas muamalah ini sesuai dengan kesepakatan awal. Menurut hadits diatas, sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah SAW, kondisi seseorang memberikan manfaat kepada saudaranya secara total berupa tanah yang dipinjamkan itu lebih utama daripada meminjamkan tanah lalu adanya kesepakatan adanya bagi hasil dari produksi lahan yang telah dikelola oleh penggarap.
Namun dalam kalangan Ulama sebenarnya terdapat perbedaan pendapat tentang hukum Mukhabarah yang ada. Perbedaan ini muncul karena terdapat perbedaan tentang bagaimana cara memandang dan mengartikan dalil yang terkait dengan Mukhabarah itu sendiri. Dan dalil-dalil yang dimaksud diantaranya yaitu :

-                      Hadits
Adapun dalil dasar yang membahas tentang hukum muzaroah dan mukhobaroh.
عَنْ رَافِعِ بْنِ خَدِيْجِ قَالَ كُنَّااَكْثَرَاْلاَنْصَارِ حَقْلاً فَكُنَّا نُكْرِىاْلاَرْضَ عَلَى اَنَّ لَنَا هَذِهِ فَرُبَمَا أَخْرَجَتْ هَذِهِ وَلَمْ تُخْرِجْ هَذِهِ فَنَهَانَاعَنْ ذَلِكَ
Artinya:
Berkata Rafi’ bin Khadij: “Diantara Anshar yang paling banyak mempunyai tanah adalah kami, maka kami persewakan, sebagian tanah untuk kami dan sebagian tanah untuk mereka yang mengerjakannya, kadang sebagian tanah itu berhasil baik dan yang lain tidak berhasil, maka oleh karenanya Raulullah SAW. Melarang paroan dengan cara demikian.(HR.Bukhari)
Ada pula hadits lain yang memiliki esensi redaksi yang tidak jauh berbeda dengan hadits diatas, yaitu sebagai berikut :
عَنْ اِبْنِ عُمَرَاَنَّ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَامَلَ أَهْلَ خَيْبَرَ بِشَرْطِ مَايَخْرُجُ مِنْهَا مِنْ ثَمَرٍ اَوْزَرْعٍ
Artinya:
Dari Ibnu Umar: “Sesungguhna Nabi SAW. Telah memberikan kebun kepada penduduk khaibar agar dipelihara oleh mereka dengan perjanjian mereka akan diberi sebagian dari penghasilan, baik dari buah – buahan maupun dari hasil pertahun (palawija)” (H.R Muslim)
Dua Hadits di atas yang dijadikan pijakan ulama untuk menuaikan kebolehan dan katidakbolehan melakukan muzara’ah dan mukhabarah. Setengah ulama melarang paroan tanah ataupun ladang beralasan pada Hadits yang diriwayatkan oleh bukhari tersebut di atas Ulama yang lain berpendapat tidak ada larangan untuk melakukan muzara’ah ataupun mukhabarah. Pendapat ini dikuatkan oleh Nawawi, Ibnu Mundzir, dan Khatabbi, mereka mengambil alsan Hadits Ibnu Umar yang diriwayatkan oleh Imam Muslim di atas
Adapun Hadits yang melarang tadi maksudnya hanya apabila ditentukan penghasilan dari sebagian tanah, mesti kepunyaan salah seorang diantara mereka. Karena memang kejadian di masa dahulu, mereka memarohkan tanah dengan syarat dia akan mengambil penghasilan dari sebagian tanah yang lebih subur keadaan inilah yang dilarang oleh Nabi Muhammad SAW. Dalam Hadits yang melarang itu, karena pekerjaan demikian bukanlah dengan cara adil dan insaf. Juga pendapat ini dikuatkan orang banyak.[4]
Pendapat Ulama Madzhab Tentang Mukhabarah
-          Mukhobaroh Menurut Ulama Hanafiyah adalah:
“Akad untuk bercocok tanam dengan sebagian apa-apa yang keluar dari bumi”
-          Mukhabarah Menurut Ulama Hanabilah adalah :
“Menyerahkan tanah kepada orang yang akan bercocok tanam atau mengelolanya, sedangkan tanaman (hasilnya) tersebut dibagi diantara keduanya”
-          Mukhabarah Menurut Ulama Syafi’iyah adalah :
“Mukhabarah yaitu menelola tanah diatas sesuatu yang dihasilkannya dan benuhnya berasal dari pengelola. Adapun Muzara’ah sama seperti Muhkabarah, hanya saja benihnya berasal dari pemilik tanah”[5]
C.      Rukun dan Syarat Mukhobarah
Rukun merupakan suatu perkara yang harus dikerjakan dalam suatu pelaksanan suatu kegiatan atau aktifitas. Hal ini menunjukan bahwa ketika proses pekerjaan itu berlangsung, maka rangkaian langkah-langkah pendukung juga harus dilakukan didalmnya. Sebab rukun itu merupakan rangkaian aktifitas yang tidak terpisah dari rangkaian pokoknya.
Sedangkan yang dimaksud denga syarat merupakan suatu perkara yang menyebabkan sah tidaknya suatu perkara tersebut. Hal ini mengindikasikan kepada kita bahwa kualitas atau mutu suatu perkra akan sangat tergantung dari komponen-kompnen pendukung yang menyebabkan suatu perkara tersebut menjadi sempurnya.
Dalam praktek pelaksanaan Muhkabarah, permasalahn rukun dan syarat tidak boleh ditinggalkan atau dipandang sebelah mata. Dikatakan demikian karena apabila seseorang yang terlibat dalam muamalah ini telah mengetahui dan memahami dengan baik tentang syarat dan rukunnya Mukhabarah maka akan memudahkan pelaksanaan praktek Mukhbarah dan akan sesuai dengan tuntunan yang diberikn oleh syara’. Apabila pihak pelaku dari aktifitas muamalah Mukhabarah ini tidak mengetahui dan memahami dengan baik terkit dengan syarat dan rukun-rukun yang ada, maka kondisi seperti ini akan menjadikan pelaksanan Mukhabarah menjadi fasid (rusak), sebab secara hukum tidak terpenuhi syarat dan rukun yang ada.
Secara umum, hal-hal yang berkaitan dengan syarat dan rukun dalam pelaksanan Mukhabarah adalah sebagai berikut[6] :
-          Rukun
a.         Pemilik tanah ;
b.        Petani/Penggarap;
c.         Obyek mukhabarah
d.        Ijab dan qabul, keduanya secara lisan.
-          Syarat
1.        Pemilik kebun dan penggarap harus orang yang baligh dan berakal.
2.        Benih yang akan ditanam harusjelas dan menghasilkan.
3.        Lahan merupakan lahan yang menghasilkan,jelas batas batasnya,dan diserahkan sepenuhnya kepada penggarap.
4.        Pembagian untuk masing-masing harus jelas penentuannya.
5.        Jangka waktu harus jelas menurut kebiasaan.
Menurut Abu Yusuf dan Muhammad, ada beberapa syarat dan rukun yang lebih detail terkait dengan Mukhabarah, yaitu sebagai berikut :
1.      Syarat Aqid (Orang yang melangsungkan akad)
o   Mumayyiz, tetapi tidak disyaratkan baligh
o   Imam Abu Hanifah mensyaratkan bukan orang Murtad, tetapi Ulama Hanafiyah tidak mensyaratkannya.
2.      Syarat Tanaman
o   Diantara para Ulama terjadi perbedaan pendapat, tetapi kebanyakan lebih menganggap lebih bik jika diserahkan kepada pekerja
3.      Syarat Dengan Garapan
o   Memungkinkan untuk digarap, yakni apabila ditanami tanah tersebut akan menghasilkan
o   Jelas
o   Ada penyerahan tanah
4.      Syarat Tanaman yang dihasilkan
o   Jelas ketika akad
o   Diharuskan atas kerja sama dua orang yang akad
o   Ditetapkan ukuran diantara keduanya, seperti sepertiga, setengah, dan lain-lain
o   Hasil dari tanaman harus menyeluruh diantara dua orang yang melangsungkan akad. Tidak dibolehkan mensyaratkan bagi salah satu yang melangsungkan akad hanya mendapatkan sekedar pengganti biji[7]
D.      Kaifiyat Aplikatif Mukhobarah Yang Baik dan Benar
Kaifiyat dapat diartikan sebagai suatu tuntunan atau pun panduan dan pedoman terkait dengan tata cara bagaimana dalam melaksanakan dan menjalankan suatu perkara dengan benar, sesuai dengan koridor dan ukurannya, serta berorientasi pada norma aturan yang telah ada sebelumnya. Dengan adanya kaifiyat ini akan memberikan arahan-cara pandang paradigma berfikir dalam aktifitas menjalankan dan melaksanakan suatu perkara sesuai dengan aturan yang telh ditentuka sebelumnya.
Tidak terlepas dari penjelasan iatas, dalam aktifitas Mukhabarah juga terdapat beberapa kaifiyat yang tidak boleh dipandang sebelah mata. Dikatakan demikian karena sejatinya praktek muamalah yang satu ini berujung pada unsur bagi hasil antara kedua belah pihak yang saling terkat didalamnya. Sehingga apabila dalam pelaksanaan muamalah ini tidak sesuai dengan tuntunan syara’ maka akan ikhawatirkan munculnya unsur Gharar atau penipuan yang malah akan merugikan salah satu pihak dan menguntungkan satu pihak yang lain. Ondisi seperti ini bukan lah tujuan yang bermuara kepada salah satu hikmah yang tersemat dalam praktek Mukhabarah ini.
Berangkat dari alasan yang demikian, maka ada beberapa hal-hal yang diperhatikan sebagi tuntunan kaifiyat dalam pelaksanaan praktek Mukhabarah dalm kehidupan bermasyarakat, yaitu sebagai berikut :
1.      Adanya Bagi Hasil yang Adil
Dalam Mukhabarah, tidak boleh mensyaratkan sebidang tanah tertentu ini untuk si pemilik tanah dan sebidang tanah lainnya untuk sang petani. Sebagaimana sang pemilik tanah tidak boleh mengatakan, “Bagianku sekian wasaq.”
Dari Hanzhalah bin Qais dari Rafi’ bin Khadij, ia bercerita, “Telah mengabarkan kepadaku dua orang pamanku, bahwa mereka pernah menyewakan tanah pada masa Nabi saw dengan (sewa) hasil yang tumbuh di parit-parit, dengan sesuatu (sebidang tanah) yang dikecualikan oleh si pemilik tanah. Maka Nabi saw melarang hal itu.” Kemudian saya (Hanzhalah bin Qais) bertanya kepada Rafi’, “Bagaimana sewa dengan Dinar dan Dirham?” Maka jawab Rafi’, “Tidak mengapa sewa dengan Dinar dan Dirham.” Al-Laits berkata, “Yang dilarang dari hal tersebut adalah kalau orang-orang yang mempunyai pengetahuan perihal halal dan haram memperhatikan hal termaksud, niscaya mereka tidak membolehkannya karena di dalamnya terkandung bahaya.”
Dari Hanzhalah juga, ia berkata, “Saya pernah bertanya kepada Rafi’ bin Khadij perihal menyewakan tanah dengan emas dan perak. Jawab Rafi’, ‘Tidak mengapa. Sesungguhnya pada periode Rasulullah orang-orang hanya menyewakan tanah dengan (sewa) hasil yang tumbuh di pematang-pematang (gailengan), tepi-tepi parit, dan beberapa tanaman lain. Lalu yang itu musnah dan yang ini selamat, dan yang itu selamat sedang yang ini musnah. Dan tidak ada bagi orang-orang (ketika itu) sewaan melainkan ini, oleh sebab itu yang demikian itu dilarang. Adapun (sewa) dengan sesuatu yang pasti dan dapat dijamin, maka tidak dilarang.”[8]
2.      Adanya Batas Waktu Kerjasama yang Jelas
Fungsi dari adanya batasan waktu yang jelas didalam aktifitas Mukhobarah adalah sebagai acuan dalam alokasi waktu dalam pengelolaan tanah. Selain itu ketika waktu akad awal telah selesai, maka akan ditemui kesepakatan memilih untuk melanjutkan akad Mukhabarah atau memilih untuk menghakhiri akad atau aktifitas muamalah Mukhabarah ini.
Beberapa hal yang menyebabkan Mukhabarah habis:
a)        Habis Mukhabarah
b)        Salah seorang yang akad meninggal.
c)        Adanya uzur.
3.      Ditunaikannya Zakat Mukhabarah
Pada prinsipnya ketentuan wajib zakat itu dibebankan kepada orang mampu. Dalam arti telah mempunyai harta hasil pertanian yang wajib dizakati (jika telah sampai batas nishab). Maka dalam kerja sama seperti ini salah satu atau keduanya (pemilik sawah atau ladang dan penggarap) membayar zakat bila telah nishab.
      Jika dipandang dari siapa asal benih tanaman, maka dalam Mukhabarah, yang wajib zakat adalah penggarap (petani), karena dialah yang hakikatnya menanam, sedangkan pemilik tanah seolah-olah mengambil sewa tanahnya. Jika benih berasal dari keduanya, maka zakat diwajibkan kepada keduanya jika sudah sampai nishab, sebelum pendapatan dibagi dua.
      Menurut Yusuf Qardawi, bila pemilik itu menyerahkan penggarapan tanahnya kepada orang lain dengan imbalan seperempat, sepertiga, atau setengah hasil sesuai dengan perjanjian, maka zakat dikenakan atas kedua bagian pendapatan masing-masing bila cukup satu nishab. Bila bagian salah seorang cukup satu nishab, sedangkan yang lin tidak, maka zakat wajib atas milik bagian yang cukup satu nishab, sedangkan yang tidak cukup satu nishab tidak wajib zakat.
      Tetapi Imam Syafi’i berpendapat bahwa keduanya dipandang satu orang, yang oleh karena itu wajib secara bersama-sama menanggung zakatnya bila jumlah hasil sampai lima wasaq : masing-masing mengeluarkan 10% dari bagiannya.[9]
E.       Hikmah dari Aplikatif Mukhobarah
Sebagian orang ada yang mempunyai bintang ternak. Dia mampu untuk menggarap sawah dan mengembangkannya, tetapi tidak memiliki tanah. Ada pula orang yang memiliki tanah yang subur untuk ditanami tetpi tidak memiliki binatang ternak dan tidak mampu untuk menggarapnya. Kalau dijalin kerja sama anatara mereka, dimana yang satu menyerahkan tanah dan bibit, sedangkan yng lain menggarap dan bekerja menggunakan bintangnya dengan tetp mendapatkan bagian masing-masing, maka yang terjadi adalah kemakmuran bumi, dan semakin luasnya daerah pertanian yang merupakan sumber kekayaan terbesar.[10]



BAB III
PENUTUP
A.      Kesimpulan
Kaifiyat Mukhobarah yang baik dan benar sesuai dengan tuntunan syara’ yaitu :
-          Adanya Bagi Hasil yang Adil
Dalam Mukhabarah, tidak boleh mensyaratkan sebidang tanah tertentu ini untuk si pemilik tanah dan sebidang tanah lainnya untuk sang petani.
-          Adanya Batas Waktu Kerjasama yang Jelas
Fungsi dari adanya batasan waktu yang jelas didalam aktifitas Mukhobarah adalah sebagai acuan dalam alokasi waktu dalam pengelolaan tanah. Selain itu ketika waktu akad awal telah selesai, maka akan ditemui kesepakatan memilih untuk melanjutkan akad Mukhabarah atau memilih untuk menghakhiri akad atau aktifitas muamalah Mukhabarah ini.
-          Ditunaikannya Zakat Mukhabarah
Jika dipandang dari siapa asal benih tanaman, maka dalam Mukhabarah, yang wajib zakat adalah penggarap (petani), karena dialah yang hakikatnya menanam, sedangkan pemilik tanah seolah-olah mengambil sewa tanahnya. Jika benih berasal dari keduanya, maka zakat diwajibkan kepada keduanya jika sudah sampai nishab, sebelum pendapatan dibagi dua.
B.       Saran
Manusia selaku anggota dari sebuah masyarakat pasti lah akan memiliki interaksi dengan yang lin untuk memenuhi kebutuhannya. Akan tetapi, diperlukan pemahaman yang baik tentang aktifitas muamalah yang hendak dilakukan agar tidak merugikan salah satu pihak yang ada.








DAFTAR PUSTAKA
A.      Buku
Ghazaly, Abdul Rahman, dkk., 2010, Fiqh Muamalah, Jakarta : Prenamedia Group
Mujieb, Abdul, M., (et al, 2010, Kamus Istilah Fiqih, Jakarta : PT. Pustaka Firdaus
Rasjid, Sulaiman, 1997, Fiqh Islam, Bandung : PT. Sinar Baru Algensindo
Syafe’i, Rachmat, 2001, Fiqih Muamalah, Bandung : CV. Pustaka Setia

B.       Internet
https://m.facebook.com/Mutiara%20Islami%20%20Pengertian%20dan%20Hukum%20Mukhabarah...%20%20%20Facebook_files/referer_frame.html





[1] Abdul Rahman Ghazaly, dkk., 2010, Fiqh Muamalah, Jakarta : Prenamedia Group. Hal. 117
[2] Sulaiman Rasjid, 1997, Fiqh Islam, Bandung : PT. Sinar Baru Algensindo. Hal. 302
[3] Abdul Mujieb, M., (et al, 2010, Kamus Istilah Fiqih, Jakarta : PT. Pustaka Firdaus. Hal. 221
[5] Rachmat Syafe’i, 2001, Fiqih Muamalah, Bandung : CV. Pustaka Setia. Hal. 206
[6]https://m.facebook.com/Mutiara%20Islami%20%20Pengertian%20dan%20Hukum%20Mukhabarah...%20%20%20Facebook_files/referer_frame.html pada Jum’at, 18 Mei 2018, pukul 14:35 WIB
[7] Rachmat Syafe’i, 2001, Fiqih Muamalah, Bandung : CV. Pustaka Setia. Hal. 208-209
[9] Abdul Rahman Ghazaly, dkk., 2010, Fiqh Muamalah, Jakarta : Prenamedia Group. Hal. 118-119
[10] Abdul Rahman Ghazaly, dkk., 2010, Fiqh Muamalah, Jakarta : Prenamedia Group. Hal. 119

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.