Makalah SOSDIK : Etika Pendidik dan Peserta Didik
MELUNTURNYA ETIKA PENDIDIK DAN PESERTA DIDIK
1.
Amin Martin S. (1608101051)
2.
Indiana Savitri (1608101076)
3.
M. Syahrul Ramadhan (1608101057)
4.
Novi Rizkah (1608101047)
5.
Siti Zanatul Ma’ua (1608101056)
ABSTRAK
Sejak zaman
dahulu keetikaan merupakan suatu perilaku luhur yang sudah melekat dalam diri
masyarakat. Konsep diri ini tidak dapat dipisahkan dari kehidupan majemuk
masyarakat yang senantiasa berjalan beriringan waktu. Namun kita pun harus
menyadari bahwa pada perkembangan masa yang begitu cepat, nilai keetikaan ini
juga merambah dalam dunia pendidikan. Yang mana nilai ini menjadi salah satu
baku pijakan dalam penyelenggaraan kegiatan belajar-mengajar di dalam suatu
instansi sekolah ataupun dalam suatu bangku perkuliahan. Dan yang kami maksud
disini adalah etika murid kepada Guru atau Dosen. Karena dengan adanya
keetikaan ini proses KBM akan mampu berjalan dengan optimal. Hal ini senada
dengan terori pertukaran yang dikemukakan oleh George Homans yang mengatakan bahwa makin sering suatu tindakan memperoleh
ganjaran, makin sering orang melakukan tindakan yang serupa. Dan bila tindakan
yang dilakukan tidak menghasilkan ganjaran seperti yang diharapkan, maka orang
cenderung akan berperilaku agresif. Dengan kata lain, apabila antara Pendidik
dan Pesrta Didik saling beretika maka kegiatan pembelajaran akan semakin
menghasilkan suatu output berkualitas sebagaimana yang telah divisi-misikan.
Kata kunci : Etika,
konsep diri, ganjaran, teori pertukaran.
A.
Pendahuluan
Kebiasaan berperilaku baik dalam melakukan interaksi dengan orang
lain merupakan suatu hal yang urgent bagi seseorang. Karena sikap ini akan
membawa dampak posotif pula bagi pelaku maupun orang yang berinteraksi
dengannya. Denganya akan membawa rasa saling menghargai antar satu sama lain
yang menjadikan pola interaksi akan semakin memberi dampak positif.
Dalam masyarakat umum, bersikap sesuai adat merupakan suatu hal
yang sudah tidak dapat dibantah keabsahannya bahwa hendaknya seseorang
berperilaku sebagaimana adat kebiasaan dimana seseorang itu tinggal. Membaur
dengan sikap kekeluargaan dalam nuansa adat akan lebih efektif ketimbang seseorang
melakukan perilaku menyimpang atau berseberangan dengan adat kebiasaan yang
berlaku. Selain itu, perilaku ini juga akan mengidentitaskan serta menjadi ciri
khas diri kita sebagai suatu anggota dari suatu perkumpulan masyarakat.
Akan menjadi aneh pula apabila seseorang lebih memilih bersikap
acuh tak acuh terhadap budaya tetap dalam masyarakat itu sendiri. Karena ini
akan semakin menambah cap tidak baik masyarakat kepada orang yang berperilaku
yang tidak sesuai dengan kondisi sosial-adat masyarakat.
Sebagaimana yang telah dijelaskan, bahwa dengan pola sikap yang
berusaha beradaptasi dengan lingkungan akan memberi dampak positif, maka
menjadi tidak heran apabila kita sering mendengar istilah “Etika” dalam
kehidupan sehari-hari. Dimana maksud dari makna ini adalah suatu tuntutan moral
yang mengarah kepada perilaku seseorang.
Dalam kurun masa dewasa ini, kita sering mendengar istilah
“Keetikaan” dalam dunia pendidikan. Karena dalam lingkungan edukasi, perilaku
moral ini juga amat lah penting. Baik bagi seorang Pendidik maupun bagi seorang
Peserta Didik. Kedua subjek utama pendidikan ini merupakan objek yang paling
disoroti dalam pembahasan bab etika dalam dunia pendidikan. Karena asumsi
mengatakan bahwa suatu sekolah akan dianggap nyaman, aman, dan berprofesional
tinggi apabila Pendidik dan yang dididik saling sinkron dalam lingkungan
edukasinya.
Secara sederhana, keetikaan memang dikatakan demikian. Namun, tidak
terlepas dari itu suatu keetikaan juga sebenarnya berlaku bagi semua orang. Ini
artinya, baik Ulama, Guru, Peserta Didik, OB, dan lain-lain harus memiliki
pedoman etika dalam melakukan pola interaksi dengan lingkungan sosial dimana
dia tinggal. Begitupun dalam lingkungan pendidikan itu sendiri, maka baik
Kepala Sekolah, Staf, Karyawan, Guru, maupun Siswa harus lah beretika ketika
melakukan interaksi dengan yang lainnya.
Akan tetapi dalam kurun waktu yang belum lama ini, muncul semacam
keganjilan yang mengatakan bahwa adanya suatu penurunan kualitas keetikaan
dalam dunia pendidikan. Khususnya bagi Pendidik maupun Peserta Didik. Dikatakan
pula bahwa hal ini terjadi dikarenakan banyak faktor.
Kondisi ini sangat disayangkan karena dengan adanya penurunan
moralitas ini maka kualitas output dari suatu lembaga sekolah akan juga ikut
terpengaruhi. Dimana dampak yang dimaksud adalah dampak yang kurang baik.
Sehingga akan semakin memperkeruh kondisi dunia pendidikan dalam kacamata
masyarakat umum.
B.
Pembahasan
1.
Pengertian Etika
Pengertian Etika
(Etimologi), berasal dari bahasa Yunani adalah “Ethos”, yang berarti watak
kesusilaan atau adat kebiasaan (custom). Etika biasanya berkaitan erat dengan
perkataan moral yang merupakan istilah dari bahasa Latin, yaitu “Mos” dan dalam
bentuk jamaknya “Mores”, yang berarti juga adat kebiasaan atau cara hidup
seseorang dengan melakukan perbuatan yang baik (kesusilaan), dan menghindari hal-hal
tindakan yang buruk.
Etika dan moral lebih
kurang sama pengertiannya, tetapi dalam kegiatan sehari-hari terdapat
perbedaan, yaitu moral atau moralitas untuk penilaian perbuatan yang dilakukan,
sedangkan etika adalah untuk pengkajian sistem nilai-nilai yang berlaku.
Istilah lain yang
identik dengan etika, yaitu: usila (Sanskerta), lebih menunjukkan kepada
dasar-dasar, prinsip, aturan hidup (sila) yang lebih baik (su). Dan yang kedua
adalah Akhlak (Arab), berarti moral, dan etika berarti ilmu akhlak.
Menurut para ahli,
etika tidak lain adalah aturan prilaku, adat kebiasaan manusia dalam pergaulan
antara sesamanya dan menegaskan mana yang benar dan mana yang buruk. Perkataan
etika atau lazim juga disebut etik, berasal dari kata Yunani ETHOS yang berarti
norma-norma, nilai-nilai, kaidah-kaidah dan ukuran-ukuran bagi tingkah laku
manusia yang baik. Sebagaimana yang dikemukakan oleh beberepa ahli dibawah ini
tentang definisi etika :
a)
James J. Spillane SJ
Menurut DR. James J. Spillane SJ
menyatakan bahwa Etika ialah mempertimbangkan atau memperhatikan suatu tingkah
laku manusia didalam mengambil suatu keputusan yang berhubungan dengan moral.
Etika lebih mengarah pada suatu penggunaan akal budi manusia dengan suatu
objektivitas untuk menentukan benar atau salahnya dan tingkah laku seseorang
kepada orang lain.
b)
Franz Magnis Suseno
Menurut Prof. DR. Franz Magnis Suseno
menyatakan bahwa Etika ialah suatu ilmu yang memberikan suatu arahan, acuan dan
pijakan kepada suatu tindakan manusia.
c)
Soergarda Poerbakawatja
Menurut Soergarda Poerbakawatja menyatakan
bahwa Etika ialah suatu filsafat yang berkaitan dengan suatu nilai-nilai,
tentang baik dan buruknya suatu tindakan dan kesusilaan.
d)
Burhanudin Salam
Menurut Drs. H. Burhanudin Salam
Menyatakan bahwa etika adalah sebuah cabang ilmu filsafat yang berbicara
tentang suatu nilai -nilai dan norma yang bisa menentukan suatu perilaku
manusia dalam kehidupannya.
e)
O.P. Simorangkir
Menurut Drs. O.P. Simorangkir Menyatakan
bahwa etika adalah suatu pandangan manusia terhadap baik dan buruknya suatu
perilaku manusia.
f)
A. Mustafa
Menurut H. A. Mustafa Menyatakan bahwa
etika ialah sebagai suatu ilmu yang menyelidiki terhadap suatu perilaku yang
mana yang baik dan yang buruk dan juga dengan memperhatikan suatu perbuatan
manusia sejauh apa yang telah diketahui oleh akal pikiran manusia.
g)
K. Bertens
Menurut K. Bertens menyatakan bahwa Etika
ialah suatu nilai dan norma moral yang menjadi suatu acuan bagi manusia yang
secara individu maupun kelompok dalam mengatur semua tingkah lakunya.
h)
Ahmad Amin
Menurut Ahmad Amin menyatakan bahwa etika
ialah ilmu yang menerangkan tentang arti baik dan buruk dan apa yang seharusnya
dilakukan oleh manusia, Ahmad amin menyatakan sebuah tujuan juga yatitu tujuan
yang harus dicapai manusia dalam suatu perbuatannya dan menunjukkan suatu arah
untuk melakukan apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia.
i)
Hamzah Yakub
Menurut Hamzah Yakub menyatakan bahwa
Etika ialah suatu ilmu yang menyelidiki suatu perbuatan yang mana yang
baik dan buruk, dan memperlihatkan suatu amal perbuatan manusia sejauh yang
dapat diketahui oleh suatu akal pikiran.
j)
Aristoteles
Menurut Aristoteles Mendefinisikan etika
kedalam dua pengertian yaitu : Terminius Technicus dan Manner and Custom.
Terminius Technicus ialah suatu etika yang dipelajari sebagai suatu ilmu
pengetahuan yang mempelajari suatu problema suatu tindakan atau perbuatan
manusia. Sedangkan manner and custom ialah suatu pembahasan etika yang
berhubungan dengan suatu tata cara & adat kebiasaan yang melekat dalam
kodrat manusia (in herent in human nature) yang sangat terikat dengan arti
“baik & buruk” suatu perilaku, tingkah laku atau perbuatan manusia.
k)
Maryani dan Ludigdo
Menurut Maryani dan Ludigdo Menyatakan
bahwa etika ialah sebagai suatu seperangkat norma, aturan atau pedoman yang
mengatur semua perilaku manusia, yang mana yang harus dilakukan dan yang harus
ditinggalkan yang dianut oleh sekelompok masyarakat atau segolongan masyarakat.
l)
Menurut KBBI
Menurut KKBI mmrndefinisikan bahwa Etika
ialah suatu ilmu tentang baik dan buruknya suatu perilaku, hak dan kewajiban
moral, sekumpulan suatu asas atau nila-nilai yang berhubungan dengan akhlak;
suatu nilai mengenai benar atau salahnya suatu perbuatan atau suatu perilaku
yang dianut oleh masyarakat.
m) Sidi
Gajabla
Menurut Drs. Sidi Gajabla menyatakan bahwa
etikaialah sebagai suatu teori tentang suatu perilaku atau perbuatan manusia
yang dipandang dari sisi baik & buruknya yang sejauh mana bisa ditentukan
oleh akal manusia.
n)
W.J.S. Poerwadarminto
Menurut W.J.S. Poerwadarminto Menyatakan bahwa etika ialah sebagai suatu ilmu pengetahuan yang mengenai asas-asas atau dasar-dasar suatu moral dan akhlak.
Menurut W.J.S. Poerwadarminto Menyatakan bahwa etika ialah sebagai suatu ilmu pengetahuan yang mengenai asas-asas atau dasar-dasar suatu moral dan akhlak.
2.
Hakikat Etika
Berdasarkan penelusuran kata etika di atas dapat disimpulkan bahwa
etika sebagai ilmu pengetahuan adalah ilmu yang mempelajari atau mengkritisi
nilai, norma, atau asas dari kebiasaan-kebiasaan, tingkah laku manusia. Ketika
kebiasaan-kebiasaan atau norma-norma yang berlaku mulai dilihat sebagai
penyelewengan dan pelanggaran terhadap kodrat dan mertabat manusia pada saat
itulah kebiasaan dan norma-norma tersebut perlu dikiritisi. Hakikat etika
adalah untuk menjaga agar manusia dalam relasinya dengan sesama hidup sebagai
manusia yang memiliki harkat dan martabat. Nilai-nilai, norma, dan kumpulan
asas haruslah memampukan manusia hidup sebagai manusia yang berharkat dan
bermartabat.
3.
Pengertian Pendidik dan Peserta Didik
·
Pengertian
Pendidik
Pendidik adalah
orang dewasa yang membimbing anak agar si anak tersebut bisa menuju ke arah
kedewasaan.Pendidik merupakan orang yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan
pendidikan dengan sasarannya adalah anak didik.
Dalam UU No. 20
tahun 2003, pendidik adalah tenaga pendidikan yangq berkualifikasi sebagai
guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaswara, tutor instruktur,
fasilitator dan sebutan lain yang berpartisipasi dalam menyelenggarakan
pendidikan. Sedangkan pendidik profesional dengan tugas utamaq mendidik,
mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta
didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar
dan pendidikan menengah (UU Guru dan Dosen No.14 tahun 2005).
Anak didik
mengalami pendidikannya dalam tiga lingkungan, yaitu lingkungan keluarga,
lingkungan sekolah, dan lingkungan masyarakat.Oleh karena itu, yang bertanggung
jawab terhadap pendidikan anak di lingkungan keluarga adalah orang tua, di
lingkungan sekolah adalah guru, di lingkungan masyarakat adalah orang-orang
yang terlibat dalam kegiatan pendidikan, seperti pengasuh anak yatim,
pembimbing dalam kelompok bermain. Pendidikan berlangsung dalam pergaulan,
seperti dikemukakan Langeveld (1980): tiap-tiap pergaulan antara orang dewasa
(orang tua, guru, dan sebagainya) dengan anak merupakan lapangan atau suatu
tempat dimana perbuatan mendidik berlangsung.
·
Pengertian
Anak Didik
Peserta didik
adalah umat manusia yang diakui haknya sebagai individu dan mempunya tanggung
jawab sosial. Dengan demikian peserta didik dikatakan sebagai anak manusia yang
tengah berkembang dengan pertolongan pendidik.
Dalam UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem pendidikan Nasional, peserta
didik adalahq anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri
melalui proses pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang dan jenis
pendidikan tertentu.
Perlu dipahami
bahwa anak sebagai manusia yang sedang berkembang menuju ke arah kedewasaan
memiliki beberapa karakteristik. Tirtarahadja (2000) mengemukakan 4
karakteristik yang dimaksudkan, yaitu:
a. Individu yang memiliki potensi fisik dan
psikis yang khas, sehingga merupakan makhluk unik.
Anak sejak
lahir telah memiliki potensi-potens yang ingin dikembangkan dan
diaktualisasikan.Untuk itu dibutuhkan bantuan dan bimbingan dari pendidik.
b.
Individu yang sedang berkembang.
Anak mengalami
perubahan dalam dirinya secara wajar, baik ditujukan pada diri sendiri maupun
ke arah penyesuaian dengan lingkungan. Sejak lahir bahkan sejak dalam
kandungan, manusia berada dalam proses perkembangan, dan prosesnya melalui
suatu rangkaian yang bertahap.
c. Individu
yang membutuhkan bimbingan individual dan perlakuan manusiawi.
Dalam proses
perkembangannya anak didik membutuhkan bantuan dan bimbingan. Sepanjang anak
belum dewasa, ia membutuhkan bantuan dan menggantungkan diri kepada orang
dewasa.
d. Individu
yang memiliki kemampuan untuk mandiri.
Anak didik
dalam perkembangannya memiliki kemampuan untuk berkembang ke arah
kedewasaan.Pada diri anak ada kecenderungan untuk memerdekakan diri, sehingga
menimbulkan kewajiban bagi pendidik untuk secara bertahap memberi kebebasan dan
pada akhirnya pendidik mengundurkan diri dari usaha memberi bantuan kepada
anak, apabila anak benar-benar telah mandiri.
4.
Kode Etik Pendidik dan Peserta Didik
Menurut UUD 1945 pasal 31
ayat 1 berbunyi “Tiap-tiap warga Negara berhak mendapatkan pengajaran”.
Berdasarkan pasal ini jelas bahwa semua warga negara tanpa terkecuali berhak
mendapatkan pendidikan. Tujuan utamanya agar generasi muda penerus bangsa dapat
memajukan negara Indonesia ini.
Berkaitan dengan itu,
visi Menteri Pendidikan Nasional, Bambang Sudibyo memandang bahwa pendidikan
pendidikan sebagai proses pembentukan manusia seutuhnya. Untuk mewujudkan visi
ini dibutuhkan dana memadai(aspek kuantitatif) dan tenaga pendidik yang
profesional (aspek kualitatif).
Ditinjau dari aspek
kuantitatif, Mendiknas lebih lanjut mewacanakan guru akan makin dimanusiawikan
dengan menaikkan gaji untuk memperbaiki mutu pendidikan nasional. Dengan
kesejahteraan yang terjamin, para guru akan bangga dengan profesinya, mampu
membeli buku, dan mempunyai waktu luang untuk belajar. Pada prinsipnya,
menaikkan anggaran pendidikan selalu disebut sebagai conditio sine qua
non (syarat mutlak).
Namun, pembangunan
dalam pendidikan seharusnya tidak dipahami dari aspek kuantitatif saja, akan
tetapi aspek kualitatif juga perlu diperhatikan. Dalam konteks ini guru adalah
jantungnya. Tanpa guru yang profesional meskipun kebijakan pembaharuan
secanggih apapun akan berakhir sia-sia.
Berdasarkan uraian di
atas, berikut ini akan membahas bagaimana etika guru profesional dalam rangka
meningkatkan mutu pendidikan sesuai denga visi yang telah ditetapkan. Uraian
dalam makalah ini di mulai bagaimana etika guru profesional terhadap peraturan
perundang-undangan, etika guru profesional terhadap peserta didik, etika guru
profesional terhadap pekerjaan, dan diakhiri dengan menguraikan etika guru
profesional terhadap tempat kerjanya.
a. Kode etik pendidik
Banyak
tokoh yang mengemukaan beberapa prinsip dasar etika bagi para Guru yang wajib
diikuti dengan penuh keyakinan sembari memberikan pendidikan kepada orang lain.
Salah satu tokoh tersebut yaitu an-Nahlawi, dalam hal ini ia membagi
karakteristik pendidik muslim dalam bentuk:
·
Mempunyai
watak dan sifat rubbaniyah yang terwujud dalam tujuan, tingkah
laku dan pola pikirnya.
·
Bersifat
ikhlas, melaksanakan tugasnya sebagai pendidik semata-mata untuk mencari
keridhaan Allah dan menegakkan kebenaran.
·
Bersifat
sabar dalam mengajarkan berbagai pengetahuan kepada Peserta Didik.
·
Jujur
dalam menyampaikan apa yang diketahuinya.
·
Senantiasa
membekali diri dengan ilmu, kesediaan diri untuk terus mendalami dan
mengkajinya lebih lanjut.
·
Mampu menggunakan metode mengajar secara bervariasi, sesuai dengan prinsip-prinsip penggunaan metode pendidikan.
·
Mampu
mengelola kelas dan Peserta Didik, tegas dalam bertindak dan proporsional.
·
Mengetahui
kehidupan psikis Peserta Didik.
·
Tanggap
terhadap berbagai kondisi dan perkembangan dunia yang dapat mempengaruhi jiwa,
keyakinan atau pola berpikir Peserta Didiknya.
·
Berlaku adil terhadap Peserta Didiknya.
Dari
batasan kriteria kode etik diatas nampak terlihat dengan jelas bahwasannya
untuk menjadi seorang pendidik tidaklah mudah, karena ia harus memenuhi
karakteristik sebagai seorang pendidik sebelum menekuni profesinya tersebut.
Seorang
pendidik dalam Islam wajib menaati kode etik yang telah ditentukan agar
pendidikan dapat berlangsung sesuai harapan sehingga nantinya akan tercermin
pada tujuan akhir dari pendidikan tersebut. Dalam melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya
apabila seorang pendidik melakukan pelanggaran terhadap kode etik maka akan
mengurangi nilai dan kewibawaan dirinya sebagai pendidik.
b. Kodeetik Peserta Didik
Sebelum memaparkan tentang kode etik Peserta Didik, terlebih dahulu perlu dipahami mengenai definisi Peserta Didik dalam pendidikan Islam. Peserta Didik merupakan komponen dalam proses pendidikan. Dilihat
dari segi kedudukannya, Peserta Didik adalah makhluk yang sedang berada dalam proses perkembangan dan pertumbuhan menurut fitrahnya masing-masing. Mereka
memerlukan bimbingan dan pengarahan yang konsisten menuju ke arah titik optimal
kemampuan fitrahnya. Anak didik adalah setiap orang yang menerima pengaruh
dari seseorang atau sekelompok orang yang menjalankan kegiatan pendidikan.
Dalam
paradigma pendidikan Islam, Peserta Didik merupakan orang yang belum dewasa dan
memiliki sejumlah potensi (kemampuan) dasar yang masih perlu dikembangkan. Peserta
Didik merupakan makhluk Tuhan yang memiliki fitrah jasmani maupun rohani yang
belum tercapai taraf kematangan baik bentuk, ukuran, maupun perimbangan pada
bagian lainnya. Dari segi rohaniah, memiliki bakat, kehendak, perasaan, dan
pikiran yang dinamis dan perlu dikembangkan.
Sedangkan menurut pasal 1 ayat 4 UU RI No. 20 Tahun
2003 tentang sistem pendidikan nasional, Peserta Didik adalah anggota
masyarakat yang berusaha mengembangkan dirinya melalui proses pendidikan pada
jalur jenjang dan jenis pendidikan tertentu. Secara sederhana Peserta
Didik dapat didefinisikan sebagai anak yang belum memiliki kedewasaan dan
memerlukan bantuan orang lain untuk mendidiknya sehingga ia tumbuh dan
berkembang kearah kedewasaan.
Dalam
pandangan yang lebih modern Peserta Didik tidak hanya dianggap sebagai objek
atau sasaran pendidikan, akan tetapi diperlalukan sebagai subjek pendidikan,
yaitu melibatkan Peserta Didik dalam memecahkan masalah dalam proses
pendidikan. Peserta Didik merupakan kunci utama yang menentukan untuk
terjadinya interaksi edukatif.
Sebagaimana
pendidik, Peserta Didik juga memiliki kode etik yang harus dipenuhi. Kode etik Peserta
Didik merupakan aturan-aturan, norma-norma yang dikenakan kepada Peserta Didik,
berisi sesuatu yang menyatakan boleh-tidak boleh, benar-tidak benar,
layak-tidak layak, dengan maksud agar ditaati oleh Peserta Didik. Berikut
adalah kode etik Peserta Didik menurut Imam Al-Ghazali, yaitu:
·
Belajar
dengan niat ibadah dalam rangka taqarrub kepada Allah sehinga dalam kehidupan
sehari-hari Peserta Didik dituntut untuk selalu menyucikan jiwanya dari akhlak
yang renda dan watak yang tercela(QS.Al-An’am (6): 162, Adz-Dzaryat(51):56)
·
Mengurangi
kecenderungan pada duniawi dibandingkan masalah ukhrawi. (QS.Ad-duha(93):4)
·
Bersikap
tawadhu(rendah hati) dengan cara meninggalkan kepentingan pribadi untuk
kepentingan pendidiknya.
·
Menjaga
pikiran dari pertentangan yang timbul dari berbagai aliran.
·
Mempelajari
ilmu-ilmu yang terpuji, baik untuk ukhrawi maupun duniawi
·
Belajar
dengan bertahan atau berjenjang dengan memulai plajaran yang mudah (konkret)
menuju pelajran yang sukar (abstrak) atau dari ilmu yang fardu ‘ain menuju ilmu
yang kifayah(QS.Al-Insyiqoq(84):19)
·
Belajar
ilmu sampai tuntas untuk kemudian berani pada ilmu yang lainnya, sehingga Peserta
Didik memiliki spesifikasi ilmu penegtahuan secara mendalam.
·
Menegnal
nilai-nilai ilmiah atas ilmu pengetahuan yang dipelajari.
·
Memprioritaskan ilmu diniyah sebelum memasuki
ilmu duniawi.
·
Mengenal
nilai-nilai pragmatis bagi suatu ilmu penegtahuan yaitu, ilmu dapat bermanfaat,
membahagiakan, dan mensejahterakan, serta memberi keselamatan hidup di dunia
dan akhirat.
·
Peserta
Didik harus tunduk pada nasihat pendidik sebagaimana tunduknya orang sakit
terhadap dokter,mengikuti prosedur dan metode madzab lain yang diajarkan oleh
pendidik pada umumnya, serta diperkenankan bagi Peserta Didik untuk mengikuti
kesenian yang baik.
Uraian
kode etik Peserta Didik tersebut adalah bertujuan sebagai standar tingkah laku
yang dapat dijadikan pedoman bagi Peserta Didik dalam menuntut ilmu,
selain itu berkaitan pula dengan etika Peserta Didik dalam hubungannya dengan
sesama Peserta Didik.
5.
Penerapan Etika Dalam Dunia Pendidikan
Penerapan etika
pendidikan pada kurun waktu dewasa ini telah mengalami penurunan khususnya dari
seorang murid itu sendiri. Dalam pengertian yang lain, pembahasan keetikaan
erat kaitannya dengan moral. Karena ketika seseorang berusaha untuk beretika
yang baik atau berperilaku yang sopan, maka nilai moral yang didapat juga akan
baik pula.
Tidak terlepas
dari hal tersebut, perkembangan moral adalah perkembangan yang berkaitan dengan
aturan dan konvensi mengenai apa yang seharusnya di lakukan oleh manusia dalam
interaksinya dengan orang lain (Santrock, 1995). Anak-anak ketika dilahirkan
tidak memiliki moral (imoral). Tetapi dalam dirinya terdapat potensi moral yang
siap untuk dikembangkan. Karena itu, melalui pengalamannya berinteraksi dengan
orang lain (denngan orangtua, saudara, teman sebaya atau Guru), anak belajar
memahami tenntang perilaku mana yang baik, yang boleh dikerjakan dan tingkah
laku mana yang buruk, yang tidak boleh dikerjakan.
Selain itu
pengaruh lingkungan juga sangat besar dalam mempengaruhi suatu perilaku etika
seorang individu. Termasuk didalamnya adalah diri Peserta Didik. Karena
Lingkungan adalah segala sesuatu yang berada disekitar manusia( Peserta Didik).
Ia dapat berupa manusia dan dapat pula bukan berupa manusia seperti
tumbuh-tumbuhan, binatang, sungai, laut, udara, dan sebagainnya.
Bahkan, selain itu ada pula sesuatu yang
berada di luar diri manusia yang tidak tampak oleh manusia(ghoib), tetapi keberadaannya
pasti. Hari ini dapat diketahui melalui informasi dari kitab suci Al-Qur’an.
Golongan ini meliputi jin dan malaikat. Lingkungan ini sering mewarnai
kehidupan Peserta Didik hal ini dapat diketahui pendidik agar dapat menetukan
sikap dan bertindak sesuai kebutuhan pendidikan.
Sebagaimana
dikatakan diatas, bahwa penerapan keetikaan pada dunia pendidikan mulai
menurun. Merosotnya budaya sopan santun siswa dipengaruhi banyak faktor, baik
faktor tersebut dari siswa, dari Guru yang merupakan faktor internal ada juga
faktor dari eksternal. Perkembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi atau
yang lebih akrab kita sebut TIK atau ICT, Kadang menjadi kambing hitam dalam
masalah ini. Tetapi bukan hanya TIK atau ICT yang menjadi faktor eksternal,
pengaruh moderenisasi kultur, pergaulan bebas dan penyalahgunaan obat – obat
terlarang juga mengambil peranan dalam proses hilangnya sopan santun siswa
terhadap Guru. Dan faktor – faktor eksternal yang mempengaruhinya yaitu :
·
Pengaruh
perkembangan TIK, kebebasan meng-akses informasi yang didukung oleh akses dari
internet yang mudah melalui laptop, TAB, malahan dari handphone / smartphone
sehingga mempengaruhi pikiran siswa.
·
Moderenisasi
kultur yang didukung pula oleh kemudahan akses internet membuat siswa bisa
melihat budaya dari negara lain. Yang secara tidak langsung mereka
mengaplikasikan dikehidupan sehari – hari tanpa adanya filterisasi terhadap
budaya yang diambil.
·
Pergaulan
bebas, merupakan efek dari moderenisasi kultur yang tidak sesuai dengan adat
istiadat Indonesia. Hal ini akan menimbulkan sifat meniru budaya barat yang
cendrung bebas tanpa ada ikatan adat istiadat yang telah lama berlaku dalam
kehidupan masyarakat Indonesia.
·
Penyalahgunaan
obat – obat terlarang, sifat labil dalam diri siswa akan membuat siswa mencari
– cari jati dirinya. Bila mana hal ini tidak tersalur secara positif, siswa
akan terjerumus dalam kenikmatan semu obat – obat terlarang yang akan
berpengaruh pada tingkah laku siswa tersebut.
·
Kurangnya
pembiasaan sopan santun di rumah. Sebagian besar waktu anak dihabiskan di rumah
atau dilingkungan keluarga sehingga sikap orang tua yang tidak mencerminkan
norma-norma kesopanan akan mudah ditiru anak.
Selain kelima
faktor eksternal diatas, masih ada satu faktor lagi yang tidak bisa kita
abaikan sebagai penyebab lunturnya budaya sopan santun siswa yaitu faktor dari
Guru. Berikut ulasan faktor eksternal ditinjau dari Guru atau komponen Pendidik
:
·
Penampilan
Guru, ini sangat penting karena siswa akan menilai rapi atau kucel cara
berpakaian Guru, harum atau bau aroma tubuh Guru tersebut, panjang atau pendek
rambut Guru (khusus Guru laki – laki).
·
Telat
atau jarang masuk, dengan beban 24 jam pelajaran dan banyaknya adminitrasi yang
harus dibuat oleh seorang Guru ditambah lagi ada side job untuk menambah penghasilan.
Akan berdampak pada performa Guru tersebut sehingga sering telat dan tidak
masuk.
·
Pilih
kasih, sifat ini yang sering tidak disadari oleh Guru dan sering membanding –
bandingkan siswa yang satu dengan siswa yang lain.
·
PR
dan tugas sering tidak dikoreksi, dengan mengoreksi dan memberikan nilai
merupakan reward bagi siswa dimana Guru telah menghargai hasil kerja keras
siswa tersebut.
·
Berkata
kasar, perkataan yang kasar akan membat pandangan negatif siswa terhadap Guru.
·
Suka
perintah, suka memerintah siswa diwaktu dan tempat yang tidak sepantasnya.
·
Menghukum
semena-mena, Guru hanyalah manusia biasa dimana ada masalah diluar sekolah yang
sering terbawa disekolah. Perlunya sikap profesional Guru untuk membedakan
masalah sekolah dengan masalah luar sekolah. Sehingga siswa tidak menjadi
pelampiasan untuk masalah – masalah Guru tersebut.
D. Zawawi Imron
(dalam Fathurrohman dan Sutikno,2007:49) menyatakan bahwa “Guru yang baik ialah
yang menganggap semua muridnya sebagai anak-anaknya sendiri, yang setiap hari
akan mendapat curahan kasih sayangnya. Guru yang baik ialah yang memberikan
masa depan cemerlang dengan membekali anak didiknya dengan visi yang tajam dan
ilmu yang menjanjikan”. Jadi, mengajar yang baik bukan sekedar persoalan
teknik-teknik dan metodologi belajar saja tetapi disertai dengan rasa kasih
sayang.
Selain faktor
eksternal, ada faktor internal yang menyebabkan hilangnya sopan santun siswa
terhadap Guru. Berikut adalah faktor internal penyebab lunturnya budaya sopan
santun siswa
·
Posisi
sosial lebih tinggi dari Guru, hal ini sering terjadi bila mana sang siswa
berasal dari keluarga yang terpandang atau orang tuanya merupakan pejabat. Jadi
dengan posisi orang tuanya tersebut siswa seakan tidak takut pada apapun
termasuk pada Guru karena orangtunya pasti akan mendukung anaknya.
·
Posisi
ekonomi lebih baik dari Guru, hal ini banyak terjadi disekolah favorit dan
internasional. Siswa tersebut akan memandang rendah Gurunya, karena posisi
ekonominya lebih baik dari Gurunya. Dimana siswa kesekolah dengan kendaraan
mobil, sedangkan sang Guru hanya naik sepeda motor.
·
Siswa
lebih paham dengan materi yang diajarkan, pada masa sekarang pendalaman materi
bukan hanya didapat dari sekolah. Bagi siswa yang serius belajar, mereka akan
mencari cara untuk menperdalam materi dengan cara kursus baik melalui lembaga
atau privat. Hal ini memungkinkan siswa bisa saja lebih paham dari siswa
lainya. Apa lagi bila siswa itu lebih paham dari Gurunya maka akan memberikan
pandangan rendah terhadap Guru tersebut.(Rohana dalam Farista, 2013)
Adapun dampak
yang akan terjadi apabila Guru dan siswa tidak lebih jeli dan selektif untuk
menyikapi faktor – faktor tersebut yaitu :
· Siswa tidak hormat dan segan pada Guru
· Siswa tidak mau dinasehati.
· Tidak mendengarkan perkataan Guru
· Menganggap Guru sebagai teman
· Berani berkata kasar bahkan sampai melakukan tindak kekerasan
kepada Guru.
6.
Solusi untuk Mengembalikan Budaya Sopan Santun Siswa
Pendidikan
karakter adalah pendidikan untuk
‘’membentuk’’ kepribadian seseorang melalui pendidikan budi pekerti,
yang hasilnya terlihat dalam tindakan nyata seseorang, yaitu tingkah laku yang
baik, jujur, pertanggung jawab, menghormati hak orang lain, kerja keras, dan
sebagainya( Thomas lickona 1991). Hal ini dapat dikaitkan dengan tujuan takdib,
yaitu pengenalan dan afirnmsi atau aktualisasi hasil pengenalan.
Russel Williams
mengilustrasikan bahwa karakter adalah ibarat ‘’otot’’, dimana ‘’otot-otot’’
karaker akan menjadi lembek apabila tidak pernah dilatih, dan akan kuat dan
kokoh kalau sering dipakai seperti seorang binaragawan (body buldler) yang
terus menerus untuk membentuk ototnya, ‘’otot-otot’’ karakter juga akan
terbentuk dengan prakrik-praktik latihan yang akhirnya akan menjadi kebiasaan
(habit).
Amsal Russels
Wiliiam sangatlah tepat karena menjadikan otot( sesuatu yang sudah dimiliki
badan manusia) sebagai modal bagi penegmbangan lebih lanjut. Ini berarti
hakikat dasar pendidikan karakter adalah apa yang menjadi potensi manusia harus
dikembangkan. Ini juga berarti, pada manussia terdapat bibit potensi kebenaran
dan kebaikan yang harus, didorong memlalui pendidikan untuk aktual.
Pendidikan yang
baik adalah pendidikan yang memberikan perhtian dan penegnalan pada
masing-masing peserta didik. Untuk dapat mencapai hal ini, pendidik harus
mengenal dengan baik konteks dan latar belakang peserta didik, seperti gaya
hidup, kelompok baya, budaya, tekan sosial, dan masalah politik.
Pengenalan
pribadi mengendalikan bahwa setiap manusia adalah pribadi yang unik, latar
belakang kehidupannya, cara belajarnya, dan sebagainya. Pendidik harus tahu
semua itu. Maka, (1) pendidik harus mengenali dan memperhatikan
pengertian-pengertian yang dibawa oleh seorang peserta didik ketika memulai
proses belajar mengajar, (2) pendidik perlu tahu kemampuan, pendapat, dan
pemahaman yang dimiliki oleh peserta didik,(3) pengenalan dan pemahaman konteks
nyata para peserta didik akan membantu pendidik untuk merumuskan tujuan,
sasaran, metode, dan sarana yang tepat bagi proses pemblajaran.
Dalam konsep
pendidikan karakter pembudayaan merupakan suatu proses pembiasaan. Pembudayaan
sopan santun dapat dimaksudkan sebagai upaya pembiasaan sikap sopan santun agar
menjadi bagian dari pola hidup seseorang yang dapat dicerminkan melalui sikap
dan perilaku keseharian. Menurut Ujiningsih dan Antoro (2010:4-6), pembudayaan
sopan santun dapat dilakukan di rumah dan di sekolah. Maka tidaklah heran
apabila sekarang sedang buming penerapan konsep pendidikan karakter sebagai
penggarapan bidang kognitif, afektif, dan psikomotorik peserta didik.
Sebenarnya pendidikan
karakter bukan berarti dilakukan didalam sekolah saja. Namun bisa dimulai dari
dalam lingkungan rumah. Pembudayaan sopan santun di rumah dapat dilakukan
melalui peran orang tua dalam mendidik anaknya. Orang tua dapat melakukan
hala-hal sebagai berikut:
·
Orang
tua memberikan contoh-contoh penerapan perilaku sopan santun di depan anak.
Contoh merupakan alat pendidikan yang sekaligus dapat memberikan pengetahuan
pada anak tentang makna dan implementasi dari sikap sopan santun itu sendiri.
·
Menanamkan
sikap sopan santun melalui pembiasaan. Anak dibiasakan bersikap sopan dalam
kehidupan sehari hari baik dalam bergaul dalam satu keluarga maupun dengan
lingkungan.
·
Menanamkan
sikap sopan santun sejak anak masih kecil, anak yang sejak kecil dibiasakan
bersikap sopan akan berkembang menjadi anak yang berperilaku sopan santun dalam
bergaul dengan siapa saja dan selalu dpat menempatkan dirinya dalam suasana
apapun. Sehingga sikap ini dapat diajadikan bekal awal dalam membina karakter
anak.
Pembudayaan
sikap sopan santun di sekolah dapat dilakukan melalui program yang dibuat oleh
sekolah untuk mendesain skenario pembiasaan sikap sopan santun. Sekolah dapat
melakukan langkah-langkah sebagai berikut :
·
Peran
sekolah dalam membiasakan sikap sopan santun dapat dilakukan dengan memberikan
contoh sikap sopan dan santun yang ditunjukkan oleh Guru. Siswa sebagai
pembelajar dapat menggunakan Guru sebagai model. Dengan contoh atau model dari
Guru ini siswa dengan mudah dapat meniru sehingga Guru dapat dengan mudah
menananmkan sikap sopan santun.
·
Guru
dapat selalu mengitegrasikan perilaku sopan santun ini dalam setiap mata
pelajaran, sehingga tanggungjawab perkembangan anak didik tidak hanya menjadi
beban Guru agama dan Guru BP saja.
·
Guru
agama dan Guru BP dapat melakukan pembiasaan yang dikaitkan dalam penilain
secara afektif. Penilaian pencapain kompetensi dalam 2 matapelajaran ini
hendaknya difokuskan pada pencapain kompetensi afektif. Kompetensi kognitif
hanya sebagai pendukung mengusaan secara afektif.
Upaya untuk mengatasi kemrosotan etika didalam dunia pendidikan
adalah sebagai berikut :
·
Untuk
menghindari salah pergaulan, kita harus pandai memilah dan memilih teman dekat.
Karena pergaulan akan sangat berpengaruh terhadapat etika, mora, dan akhlak.
·
Peran
orang tua sangat penting dalam pembentukan karakter seseorang, terutama dalam
mengenangkan pendidikan agama sejak dini. Perhatian dari orangtua juga sangat
penting.karena pada banyak kasus, kurangnya perhatian orang tua dapat
menyebabkan dampak buruk pada sikap anak.
·
Memperluas
wawasan dan pengetahuan akan sangat berguna untuk menyaring pengaruh buruk dari
lingkungan, misalnya kebiasaan merokok. Orang-orang menganggap bahwa merokok
dapat menyebabkan banyak penyakit baik pada perokok aktif maupun pasif.
Sehingga kebiasaan ini tidak hanya akan mempengaruhu dirinya sendiri, melainkan
juga orang-orang disekelilingnya.
·
Meningkatkan
iman dan takwa dengan cara bersyukur, bersabar, dan beramal shaleh.
7.
Teori Sosiologi Yang Digunakan
Sebagaimana
yang telah dikemukakan dalam bagian Abstrak bahwa teori social exchange adalah
sebuah teori yang mengemukakan bahwa kontribusi seseorang dalam suatu hubungan,
di mana hubungan tersebut dapat mempengaruhi kontribusi orang lain.
Tokoh dari
teori ini adalah Thibault dan Kelley. Mereka mengemukakan bahwa orang
mengevaluasi hubungannya dengan orang lain dengan mempertimbangkan
konsekuensinya, khususnya terhadap ganjaran yang diperoleh dan upaya yang telah
dilakukan, orang akan memutuskan untuk tetap tinggal dalam hubungan tersebut
atau pergi meninggalkannya. Di dalam teori ini terdapat istilah Comparison
Levels yaitu, ukuran bagi keseimbangan pertukaran antara untung dan rugi dalam
hubungan dengan orang lain. Teori ini sama halnya dengan transaksi dalam
berdagang, di mana ada untung dan rugi.
Relasi teori
ini dalam pembahasan etika pendidik dan peserta didik adalah bahwa ketika hanya
ada salah satu subjek pendidikan yang beretika sedangkan yang lain, maka
tentulah hal ini tidak seimbang. Dengan kata lain ada suatu pihak yang dianggap
sebagai pihak yang telah dirugikan.
Termasuk dalam
hal ini adalah pendidik dan peserta didik dalam dunia pendidikan. Ketika hanya
guru saja yang memiliki etika sedangkan kondisi murid atau peserta didik dalam
kondisi yang tidak beretika. Maka tentulah proses pembelajaran tidak akan
berjalan dengan baik.
Bagi siswa,
selaku salah satu komponen dalam pendidikan. Maka sudah tentulah selaku yang
membutuhkan ilmu sudah seyogyanya seorang peserta didik memiliki etika kepada
gurunya. Karena sebagaimana yang disinggung diatas, ketika murid tidak beretika
maka akan kelihatan ketidakseriusan seorang guru dalam mengajar peserta
didiknya.
Sehingga maksud
teori exchange dalam etika pendidik dan peserta didik adalah bahwa baik guru
ataupun peserta didik harus memiliki etika masing-masing. Semua ini dimaksudkan
agar proses belajar mengajar dalam dunia pendidikan akan berjalan dengan baik.
Dan mampu menciptakan kondisi edukasi lingkungan kelas yang lebih aktif dan
menyenangkan.
Selain itu
apabila diihat dengan sudut pandang teori yang lain, yakni teori Deviance
(penyimpangan) dan Konfik. Apabila dilihat dari teori Deviance yang mengatakan
bahwa penyimpangan atau deviance ditunjukan pada perilaku manusia yang
menyimpang terhadap noma-norma dan standar yang ada didalam masyarakat. Karena
pada kenyataan yang terjadi dalam dunia pendidikan, ada kalanya seorang
pendidik atau peserta didik yang misalnya tidak berlaku sopan kepada Guru atau
sebaliknya. Maka inilah yang disebut penyimpangan dari norma-norma yag berlaku
dalam dunia pendidikan.
Sedangkan dalam
pandangan teori konflik yang mengatakan bahwa perubahn sosial tidak terjadi
melalui proses penyesuaian nilai-nilai yang membawa perubahan, tetapi terjadi
akibat adanya konflik yang menghasilkan kompromi-kompromi yang berbeda dengan
kondisi semula. Maka dalam hal ini keetikaan yang terjadi pada pendidik atau
peserta didik akan menjadi teratur keetikaannya apabila dari pendidik atau
peserta didik yang ada melakukan keetikaan yang tidak sesuai dahulu. Setelah
itu barulah akan terjadi keteraturan etika dalam lingkungan pendidikan.
KESIMPULAN
Etika merupakan suatu tindakan atau semacam perilaku yang sudah
melekat dalam diri masyarakat yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan
masyarakat. Etika itu sendiri diperlukan dalam segala bidang. Karena dengan
seseorang memiliki etika maka orang tersebut akan mendapatkan ganjaran yang
baik orang lain dalam bentuk perilaku atau respon yang positif juga.
Begitupun dalam
dunia pendidikan keetikaan sangat diperlukan. Khususnya ini berlaku bagi
seorang peserta didik dan pendidik sebagai komponen objek dan subjek dalam
suatu lingkup pendidikan. Dan adanya keetikaan ini dimaksudkan tidak lain untuk
mewujudkan suatu kegiatan pembelajaran yang efektif.
Sebagaimana yang dikatan oleh teori exchange bahwa orang
mengevaluasi hubungannya dengan orang lain dengan mempertimbangkan
konsekuensinya, khususnya terhadap ganjaran yang diperoleh dan upaya yang telah
dilakukan, orang akan memutuskan untuk tetap tinggal dalam hubungan tersebut
atau pergi meninggalkannya.
Hal tersebut dimaksudkan bahwa antara pendidik dan peserta didik
harus memiliki etika masing-masing sebagai suatu unsur urgent yang menyebabkan
proses pembelajaran itu sendiri dapat berjalan efektif, mampu menciptakan
kondisi lingkungan edukasi yang menyenangkan, serta disisi lain mampu
meningkatkan mutu pendidikan suatu lembaga pendidikan. Sehingga pandangan
masyarakat juga akan berefek bagi kepada lembaga pendidikan tersebut.
SARAN
1.
Kita
seharusnya selaku siswa atau peserta didik harus memiliki etika atau tata
tingkah laku sebagai suatu bentuk nilai tukar tersendiri kepada seorang guru
ketika kita berada dalam lingkungan pendidikan.
2.
Begitupun
dengan guru selaku pendidik. Juga harus beretika kepada peserta didik agar
hubungan timbal balik dengan peserta didik dalam proses KBM akan berjalan
dengan baik. Sehingga diharapkan dari hal tersebut akan menghasilkan output
sebagaimana yang dijadikan tujuan.
DAFTAR PUSTAKA
Buku :
Nasution. 2011.
Sosiologi Pendidikan.Jakarta : PT Bumi Aksara
Wardi Bachtiar.
2006. Sosiologi Klasik. Bandung : PT Remaja Rosdakarya
Thomas Lickona.
2013. Mendidik Untuk Membentuk Karakter. Jakarta : Bumi Aksara
Mahmud. 2012. Sosiologi
Pendidikan. Bandung : C.V. Pustaka Setia
Bambang
Q-Annes. 2008. Pendidikan Karakter Berbasis Al-Qur’an. Bandung :
Simbiosa Rekatama Media
Bukhori Umar. 2010.
Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta : Penerbit Amzah
Desmita. 2012. Psikologi
Perkembangan Peserta Didik. Bandung : Remaja Rosdakarya
Ramayulis.
2015. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta : Kalam Mulia
Damsar. 2015. Pengantar
Teori Sosiologi. Jakarta : Prenadamedia Group
Internet :
http://nanangrijonoekonomi.blogspot.com/2009/12/pasca-permendiknas-no-39-tahun-2009.html
http://afrianties.blogspot.co.id/2012/12/social-exchange-theory.html
Tidak ada komentar: