Header Ads

Breaking News
recent

Sifat Pengecut dalam QS. An-Nisa ayat 77

BAB I
PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang
Keinginan untuk dipercaya oleh orang lain merupakan keinginan yang sifatnya fithrah dari seorang manusia. Akan tetapi untuk mendapatkan suatu kepercayaan dari orang lain tidaklah mudah. Sebab untuk mendapatkannya seseorang tidak hanya bermodalkan omong saja yang besar, namun pembuktian dari apa yang telah dia gembor-gemborkan harus terrealisasi.
Sejak dahulu hingga masa dewasa ini dikenal suatu istilah yang menjadi benalu tak manfaat dalam diri seseorang, yakni sebutan pengecut. Ini merupakan suatu sikap yang besar omong namun nol atau tidak ada pembuktian dari apa yang diomongkannya. Mereka terlalu mengandalkan rayuan daripada pembuktian.
Makna pengecut pada masa zaman post modern seperti saat ini memiliki arti yang luas. Dengan kata lain, sikap ini dapat menempel kepada siapa saja yang mana dia terlalu banyak omong tanpa adanya action dalam kehidupan sehari-harinya. Mereka juga bercirikan hanya mengakui kebenaran tanpa melakukan pembenaran.
Seseorang yang pengecut seyogyanya memang mendapat perhatian khusus dari publik sebagai kontorl dari apa yang dia telah katakan. Apabila tidak ada kontorl dari ranah publik maka orang yang pengecut akan bermain caintik dibelakang orang-orang yang telah berusaha memberikan kepercayaan dan mandat kepada orang tersebut. Dia hanya akan duduk manis da melihat permainan dunia sebagai hiburannya.
Dalam sudut pandang agama, orang yang pengecut biasanya mereka takut kepada kematian. Karena setelah proses kematian yang dialaminya, dia akan dimintai pertanggungjawaban dari apa yang telah dilakukannya. Jikalau dia merasa benar dengan apa yang dia lakukan, mengapa dia enggan dan bahkan takut untuk bertemu dengan kematian. Maka sungguh ini merupakan salah satu ciri khas dari seorang yang pengecut dalam kacamata agama.
Dalam konteks arti yang umum, seorang yang pengecut, sebagaimana yang telah disinggung diatas, mereka akan banyak ngomong tanpa dibenarkan dengan sungguh-sungguh apa yang telah dia omongkan tadi. Pada awalnya dia mengaku akan taat, akan tunduk, akan rajin, akan melindungi, atau makna lain yang sepadan dengannya. Namun pada kenyataanya mereka menjadi keriput ketika mereka ditanya tentang pembuktian dari apa yang telah dia omongkan sebelumnya.
Sudah barang tentu, orang yang memiliki sikap pengecut tidak lah menguntungkan bagi orang lain yang berada disekitarnya. Dia hanya akan menjadi sampah dalam masyarakat tempat dia tinggal. Namun tidak terlepas dari hal tersebut, orang-orang seperti ini perlu untuk diluruskan agar dia kembali ke jalan yang benar. Kita tidak boleh membiarkan beguitu saja. Sebab mereka merupakan bagian dari dakwah Islam ini.
B.     Rumusan Masalah
-         Bagaimana sikap pengecut seseorang sebagaimana yang terdapat dalam QS. An-nisa ayat 77?
C.     Tujuan Makalah
-         Untuk mengetahui tentang sikap pengecut dari seseorang berdasarkan QS. An-Nisa ayat 77














BAB II
PEMBAHASAN
A.        Surah QS. An-Nisa ayat 77
أَلَمۡ تَرَ إِلَى ٱلَّذِينَ قِيلَ لَهُمۡ كُفُّوٓاْ أَيۡدِيَكُمۡ وَأَقِيمُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتُواْ ٱلزَّكَوٰةَ فَلَمَّا كُتِبَ عَلَيۡهِمُ ٱلۡقِتَالُ إِذَا فَرِيقٞ مِّنۡهُمۡ يَخۡشَوۡنَ
 ٱلنَّاسَ كَخَشۡيَةِ ٱللَّهِ أَوۡ أَشَدَّ خَشۡيَةٗۚ وَقَالُواْ رَبَّنَا لِمَ كَتَبۡتَ عَلَيۡنَا ٱلۡقِتَالَ لَوۡلَآ أَخَّرۡتَنَآ إِلَىٰٓ أَجَلٖ قَرِيبٖۗ قُلۡ مَتَٰعُ ٱلدُّنۡيَا
 قَلِيلٞ وَٱلۡأٓخِرَةُ خَيۡرٞ لِّمَنِ ٱتَّقَىٰ وَلَا تُظۡلَمُونَ فَتِيلًا ٧٧
Artinya : Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang dikatakan kepada mereka: "Tahanlah tanganmu (dari berperang), dirikanlah sembahyang dan tunaikanlah zakat!" Setelah diwajibkan kepada mereka berperang, tiba-tiba sebahagian dari mereka (golongan munafik) takut kepada manusia (musuh), seperti takutnya kepada Allah, bahkan lebih sangat dari itu takutnya. Mereka berkata: "Ya Tuhan kami, mengapa Engkau wajibkan berperang kepada kami? Mengapa tidak Engkau tangguhkan (kewajiban berperang) kepada kami sampai kepada beberapa waktu lagi?" Katakanlah: "Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa, dan kamu tidak akan dianiaya sedikitpun.
B.       Terjemah Perkata
أَلَمۡ تَرَ إِلَى : Tidakkah engkau perhatikan
ٱلَّذِينَ قِيلَ لَهُمۡ : Orang-orang yang dikatakan kepada mereka
كُفُّوٓاْ أَيۡدِيَكُمۡ : Tahanlah tanganmu (dari berperang),
وَأَقِيمُواْ ٱلصَّلَوٰة وَءَاتُواْ ٱلزَّكَوٰةَ َ: Dirikanlah sembahyang dan tunaikanlah zakat
ٱلۡقِتَالُ فَلَمَّا كُتِبَ عَلَيۡهِمُ : Setelah diwajibkan kepada mereka berperang
إِذَا فَرِيقٞ مِّنۡهُمۡ : Tiba-tiba sebahagian dari mereka (golongan munafik)
ٱلنَّاسَ يَخۡشَوۡنَ: Takut kepada manusia (musuh)
كَخَشۡيَةِ ٱللَّهِ : Seperti takutnya kepada Allah
أَوۡ أَشَدَّ خَشۡيَةٗ : Bahkan lebih sangat dari itu takutnya.
وَقَالُواْ رَبَّنَا لِمَ كَتَبۡتَ عَلَيۡنَا ٱلۡقِتَالَ : Mereka berkata: "Ya Tuhan kami, mengapa Engkau wajibkan berperang kepada kami?
لَوۡلَآ أَخَّرۡتَنَآ إِلَىٰٓ أَجَلٖ قَرِيبٖۗ : Mengapa tidak Engkau tangguhkan (kewajiban berperang) kepada kami sampai kepada beberapa waktu lagi?
 وَٱلۡأٓخِرَةُ قَلِيلٞ  قُلۡ مَتَٰعُ ٱلدُّنۡيَا: Katakanlah: "Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu,
خَيۡرٞ لِّمَنِ ٱتَّقَىٰ : lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa
وَلَا تُظۡلَمُونَ فَتِيلًا : dan kamu tidak akan dianiaya sedikitpun.
C.        Gambaran Umum Tentang QS. An-Nisa ayat 77
Pada umumnya, QS. An-Nisa ayat 77 menerangkat tentang sifat-sifat sebagian orang yang lemah imannya. Mereka diperintahkan agar tidak memulai perang terhadap orang kafir dan kepada mereka diminta melakukan shalat dan mengeluarkan zakat sebagai pembersih diri dari sifat jahiliyyah, perang terpaksa dilakukan jika keadaan memerlukan guna membela Islam.[1]
Pada ayat ini juga telah disebutkan dengan jelas tentang sifat-sifat orang pengecut atau munafiq, yang mana mereka mengaku tealh beriman, mereka diperintahkan untuk mengerjakan shalat, zakat, dan tidak memulai memerangi orang-orang kafir. Sebab kala itu Allah swt memerintahkan Nabi Muhammad saw untuk bersikap toleran kepada orang kafir. Namun pada suatu ketika orang-orang yang telah mengaku beriman ini diminnta untuk berperang, malah mereka merasa takut. Dan bahkan lebih takut kepada musuh mereka daripada takut kepada Alloh swt. Maka inilah salah satu tanda orang yang pengecut, yakni besar omongan daripada prakteknya.
D.       Asbabun-Nuzul QS. An-Nisa ayat 77
Sebagaimana yang telah disinggung dalam bagian sebelumnya, bahwa ayat ini menjelaskan tentang sifat-sifat orang munafiq atau pengecut. Maka telah dijelaskan dalam riwayat An-Nasai dan Al-Hakim yang bersumber dari Ibnu Abbas ra, bahwa Abdurrahman bin Auf dan kawan-kawannya menghadap kepada Rasululloh saw dan berkata, “Ya Nabiyullah!. Dahulu kami di Mekah, disaat kami musyrik, kami merasa ,mulya dan pemberani. Tetapi kini setelah kami beriman, kami jadi hina”. Menjadi hina disini karena mereka dulu ketika masih musyrik sering berperang, sebagai adat masyarakat Jahiliyyah. Namun pada saat mereka telah masuk Islam mereka menjadi hina, sebab mereka tidak pernah berperang. Mereka hanya sholat, zakat, dan rutinitas Islam yang lainnya.
Setelah Nabi saw ditanya demikian, maka beliau saw menjawab : “Dahulu, aku diperintahkan untuk toleran dan dilarang memerangi mereka (kaum musyrikin)”. Setelah hijrah ke Madinah, suatu ketika terjadilah peperangan. Dan kaum Muslimin diminta untuk berperang, termasuk Abdurrahman bin Auf dan kawan-kawannya. Namun Abdurrahman bin Auf dan kawan-kawannya enggan untuk ikut berperang. Maka, turunlah QS. An-Nisa ayat 77 ini sebagai pemberi semangat untuk turut jihad.[2]
Asbabun Nuzul ayat ini mengandung arti lain, yaitu bahwa Abdurrahman bin Auf dan kawan-kawannya bukan berarti orang munafiq yang tidak mau bertobat. Namun mereka adalah para sahabat yang baru masuk Islam, sehingga mereka belum langsung yakin akan pertolongan dan dukungan dari Alloh swt pada saat perang. Sehingga wajar saja apabila mereka berakata demikian. Dan setelah turunnya ayat ini, mereka menjadi para shahabat yang shalih.
E.        Tafsir QS. An-Nisa ayat 77
1.      Tafsir Al-Jalalaini
(77) أَلَمۡ تَرَ إِلَى (Tidakkah engkau perhatikan), wahai orang-orang Mukmin, ٱلَّذِينَ قِيلَ لَهُمۡ (Orang-orang yang dikatakan kepada mereka)-ditengah kelemahan dan karut-marut keadaan mereka saat mereka tinggal di Mekkah sebelum Hijrah, sementara mereka ingin berperang, كُفُّوٓاْ أَيۡدِيَكُمۡ (Tahanlah tanganmu (dari berperang)) dari berperang sampai Allah swt mengizinkan kalian melakukannya serta datang perintah dari-Nya untuk berperang. وَأَقِيمُواْ (dirikanlah) dan lakukanlah selalu, ٱلصَّلَوٰة (sholat) yaitu kecenderungan mendekatkan diri kepada Allah swt dengan segenap anggota dan organ tubuh, وَءَاتُواْ ٱلزَّكَوٰةَ (dan tunaikanlah zakat) yang membersihkan jiwa kalian dari kecenderungan kepada gemerlap dunia, dan tunggulah sampai Allah swt memerintahkan kalian untuk berperang dan berjihad. ٱلۡقِتَالُ فَلَمَّا كُتِبَ عَلَيۡهِمُ (Maka ketika diwajibkan kepada mereka berperang), setelah mereka kuat dan kelemahan mereka hilang, إِذَا فَرِيقٞ مِّنۡهُمۡ (Tiba-tiba sebahagian dari mereka (golongan munafik)) disebabkan lemahnya keyakinan mereka dan kerdilnya kepercayaan mereka kepada pertolongan serta dukungan Allah swt. ٱلنَّاسَ يَخۡشَوۡنَ (Takut kepada manusia (musuh)), takut kepada orang-orang kafir. كَخَشۡيَةِ ٱللَّهِ (Seperti takutnya kepada Allah), seperti takutnya mereka kepada Alloh swt, أَوۡ (atau) bahkan,أَشَدَّ خَشۡيَةٗ (lebih sangat dari itu takutnya) disebabkan lemahnya keyakinan mereka dan lemahnya sikap menyandarkan diri kepada Allah swt yang mereka miliki. Sebab mereka diawal kemunculan Islam memang selalu terombang-ambing dan keyakinan mereka pun tidak pernah sampai kepada tauhid. وَقَالُواْ (Mereka berkata) ketika mereka mendengar turunnya perintah perang, guna menunda-nunda pelaksanaan perintah itu,  رَبَّنَا لِمَ كَتَبۡتَ عَلَيۡنَا ٱلۡقِتَالَ (Ya Tuhan kami, mengapa Engkau wajibkan berperang kepada kami?) padahal kami masih lemah, لَوۡلَآ أَخَّرۡتَنَآ إِلَىٰٓ أَجَلٖ قَرِيبٖۗ (Mengapa tidak Engkau tangguhkan (kewajiban berperang) kepada kami sampai kepada beberapa waktu lagi?) agar selama masa penangguhan itu ketakutan dan periapan kami dapat bertambah. Padahal sesungguhnya mereka mengatakan semua itu hanya karena mereka takut mati dan hilangnya harta mereka. قُلۡ (katakanlah) kepada mereka, wahai Rasul yang paling sempurna, untuk memperingatkan dan mengingatkan mereka,  ٱلدُّنۡيَا قَلِيلٞ مَتَٰعُ (Kesenangan di dunia ini hanya sebentar) dan amalnya pendek, jika dibandingkan dengan anugerah Allah swt serta kemuliaan pertemuan dengan-Nya. وَٱلۡأٓخِرَةُ (dan akhirat itu) yang disiapkan sebagai tempat anugerah dan kemuliaan pertemuan dengan Allah swt, خَيۡرٞ لِّمَنِ ٱتَّقَىٰ (lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa) dibandingkan segala hal yang menyibukan mereka dari Allah swt dan dari bandingan anugerah-Nya. وَ (dan) ketahuilah, wahai orang-orang beriman, bahwa kalian لَا تُظۡلَمُونَ فَتِيلًا (kamu tidak akan dianiaya sedikitpun) meskipun hanya sebesar zarah.
                      Dan ketahuilah pula bahwa sikap menunda-nunda yang kalian lakukan tidak dapat memberi manfaat apa-apa kepada kalian dalam hal kematian karena waktu datangnya kematian adalah sesuatu yang tidak diketahui, tapi ia pasti datang.[3]
2.      Tafsir Ibnu Katsier
(77) Pada permulaan lahirnya Islam, para Mu’minin di Mekkah hanya diperintahkan melakukan kewajiban bershalat, zakat, sekalipun belum ada ketentuan batas kekayaan yang diwajibkan zakat serta prosentasenya yang harus dikeluarkan. Mereka juga diperintahkan agar memberi pertolongan kepada orang-orang fakir-miskin, berlaku sabar terhadap sikap para musyrikin, memaafkan saja dan menutup mata terhadap tingkah laku mereka yang sering menjengkelkan dan menyakiti hati. Kadang kala kalau gangguan pihak musyrikin sudah memuncak dan sudah keterlaluan, maka orang-orang mukmin, karena saking jengkelnya dan kehilangan kesabaran ingin sekali kalau mereka diperintahkan untuk memerangi pihak musyrikin itu. Akan tetapi Allah swt belum mengizinkan mereka melakukan itu dikarenakan saatnya belum tepat. Berhubung dengan bilangan kaum muslimin yang sangat kecil dibanding dengan bilangan kaum musyrikin dan status kota Mekkah sebagai kota haram, tidak diperbolehkan adanya pertumpahan darah didalamnya.
Perintah berjihad diturnkan oleh Allah swt setelah Nabi saw berhijrah dan barisan Mukminin menjadi kuat dapat diandalkan menghadapi kaum Musyrikin. Akan tetapi perintah jihad itu yang dahulu tatkala masih di Mekkah didamba-dambakan dan diharapkan turunnya, tiba-tiba disambut oleh sebagian kaum Muslimin dengan rasa takut dan kecut hati. Mereka bahkan menginginkan dan berharap kalau dapat kewajiban berjihad itu ditangguhkan ke lain waktu dan kesempatan, karena mereka mengkhawatirkan akibat pertumpahan darah yang akan meyatimkan anak-anak dan menjandakan wanita-wanita. Ayat ini adalah sejiwa dengan firman Allah swt dalam surah Muhammad ayat ke 20.
Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dari Ibnu Abbas, bahwa ayat ini mengenai Abdurrahman bin Auf dan beberapa sahabatnya tatkala mereka masih berada di Mekkah berkata kepada Rasululloh saw : “Ya Nabiyullah, kami dahulu semasih musyrikin, merasa mulia, namun setelah kami menjadi iman, malah kami menjadi hina-dena”. Rasululloh saw menjawab : “Aku telah diperintahkan agar memberi maaf, maka janganlah kamu memerangi mereka”.
Akan tetapi setelah berhijrah dan pindah ke Madinah dan diperintahkan uttuk berperang, nereka enggan melakukannya dan mohon ditangguhkan perintah itu ke waktu yang lain.
Berkata Assuddi : “Dahulu mereka hanya diperintahkan kewajiban shalat dan berzakat, namun perintah itu diturunkan, tiba-tiba sebagian dari mereka dihingapi rasa takut kepada manusia seperti takutnya kepada Allah swt, bahkan bukan kepalang takutnya”.
Menurut Mujahid, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Jarir bahwa ayat ini mengenai orang-orang Yahudi.
Allah swt berfirman selanjutnya, : “Katakanlah, hai Muhammad saw, bahwa akhiratnya orang-orang bertaqwa lebih baik dari dunianya, dan bahwa mereka akan menerima pahala sebagai balasan bagi amalnya sepenuhnya dan sedikpun tidak akan teraniaya”.
Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dan Hisyam, bahwa Al-Hasan tatkala membaca ayat ini, berkata, “Sesungguhnya dunia itu dari awalnya sampai akhirnya seperti seseorang tidur dan melihat dalam mimpinya sesuatu yang disukainya kemudia ia terjaga (terbangun)”.[4]
3.      Kementerian Agama RI
(77) Ayat ini menggambarkan keadaan masyarakat masa jahiliyyah. Mereka suka berperang meskipun karena sebab yang kecil. Setelah masuk Islam, mereka diperintahkan agar menghentikan perang, melaksanakan shalat, dan membayar zakat. Sebagian dari mereka mengharapkan adanya perintah perang. Karena kepentingan duniawi sebagaimana kebiasaan mereka pada masa jahiliyyah.
Ayat ini memerintahkan kepada sebagian kaum Muslimin yang enggan berperang agar mereka bersikap tenang dan menahan diri untuk tidak mengadakan peperangan terhadap orang kafir dan mereka hanya diperintahkan melakukan shalat dan membayar zakat. Tetapi pada waktu mereka diperintahkan berperang untuk mempertahankan diri, ternyata sebagian dari mereka tidak bersemangat untuk berperang karena takut kepada musuh, padahal semestinya mereka hanya takut kepada Allah swt. Malahan mereka berkata : “Mengapa kami diwajibkan berperang pada waktu ini, biarkanlah kami mati seperti biasa”.
Allah swt memerintahkan kepada Rasululloh saw agar mengatakan kepada sebagian kaum Mislimin bahwa sikap mereka itu adalah sikap seorang yang pengecut. Karena takut mati dan cinta kepada harta dunia. Sedangkan kelezatan dunia itu hanya sedikit sekali, jika dibandingkan dengan kelezatan akhirat yang abadi dan tidak terbatas. Yang hanya akan didapat oleh orang-orang yang bertaqwa kepada Allah swt yaitu orang yang bersih dari syirik dan akhlak yang rendah. Pada akhir ayat ini ditegaskan bahwa Alah swt tidak akan menganiaya dan merugikan manusia. Masing-masing akan mendapatkan balasan sesuai dengan amal perbuatan walaupun sebesar zarrah.[5]
F.         Pembahasan Pemakalah Mengenai QS. An-Nisa ayat 77
Pada pembahasan QS. An-Nisa ayat 77 ini merupakan pembahasan yang memiliki keterkaitan dengan kehidupan umat manusia. Dimana keterkatan yang dimaksud adalah tentang keimanan atau aqidah seseorang. Apabila dia telah mengaku seorang Muslim, maka sudah barang tentu akan datang ujian sebagai pembuktian keimanannya dan sebagai anti kebal sehingga orang yang telah mnengaku Islam ini akan teruji kualitas keimanannya.
Dalam ayat ini, telah diterangkan pada pembahasan Asbabun-Nuzul bahwa ketika Abdurrahdam bin Auf serta beberapa temannya masuk Islam, dan pada kala itu Islam sebagai minoritas sering diganggu, maka Abdurrahman bin Auf dan beberapa temannya menginginkan untuk melawan dengan perang terhadap orang-orang musyrikin. Namun Nabi Muhammad saw belum mendapat perintah akan hal ini, yakni melakukan peperangan kepada orang kafir. Sebab secara kenyataan jumlah kaum Muslimin pada waktu itu masih sedikit. Maka wajar saja apabila pada awal lahirnya Islam, Allah swt belum menurunkan ayat tentang perang.
Dalam suatu kesempatan Abdurrahman bin Auf dan beberapa temannya mengadu kepada Rasululloh saw dan mereka merasa hina. Padahal berdasar firman Alloh swt QS. Al-Baqoroh ayat 285, seorang yang mengaku beriman harusnya tunduk dan taat terhadap apa yang telah diperintahkan kepadanya.
ءَامَنَ ٱلرَّسُولُ بِمَآ أُنزِلَ إِلَيۡهِ مِن رَّبِّهِۦ وَٱلۡمُؤۡمِنُونَۚ كُلٌّ ءَامَنَ بِٱللَّهِ وَمَلَٰٓئِكَتِهِۦ وَكُتُبِهِۦ وَرُسُلِهِۦ لَا نُفَرِّقُ بَيۡنَ أَحَدٖ مِّن رُّسُلِهِۦۚ
 وَقَالُواْ سَمِعۡنَا وَأَطَعۡنَاۖ غُفۡرَانَكَ رَبَّنَا وَإِلَيۡكَ ٱلۡمَصِيرُ ٢٨٥
Artinya : Rasul telah beriman kepada Al Quran yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (Mereka mengatakan): "Kami tidak membeda-bedakan antara seseorangpun (dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya", dan mereka mengatakan: "Kami dengar dan kami taat". (Mereka berdoa): "Ampunilah kami ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali".
            Sehingga, sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya, bahwa ketika dia telah mengaku beriman kepada Allah swt da Rasul-Nya, maka sesungguhnya mereka, yakni orang yang telah mengaku beriman akan :
1.      Membuktikan janjinya atau tidak.
Janji disini yakni tentang ketaatan dan ketundukan kepada perintah Allah swt dan Rasul-Nya. Sebab ada orang yang membuktikan janjinya dan ada pula yang tidak membuktikan apa yang telah dia janjikan. Sebagaimana firman-Nya berikut ini :
مِّنَ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ رِجَالٞ صَدَقُواْ مَا عَٰهَدُواْ ٱللَّهَ عَلَيۡهِۖ فَمِنۡهُم مَّن قَضَىٰ نَحۡبَهُۥ وَمِنۡهُم مَّن يَنتَظِرُۖ وَمَا بَدَّلُواْ تَبۡدِيلٗا ٢٣
Artinya : Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka tidak merubah (janjinya). (QS. Al-Ahzab ayat 23)
Redaksi ayat diatas sudah sangat jelas, bahwa dari orang Muslim ada sebgian yang menepati janji dan ada pula yang mengingkari janji. Sehingga kaitan dengan QS. An-Nisa ayat 77 disini yaitu pemintabuktian Allah swt kepada Abdurrahman bin Auf dan beberapa sahabat yang lain akan janji keimanannya.
2.      Akan diuji keimanannya.
Selain dimintai pembuktian janji, maka sesungguhnya seorang Muslim juga akan diuji keimanannya. Sebagaimana firman-Nya berikut ini :
أَحَسِبَ ٱلنَّاسُ أَن يُتۡرَكُوٓاْ أَن يَقُولُوٓاْ ءَامَنَّا وَهُمۡ لَا يُفۡتَنُونَ ٢
Artinya : Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi. (QS. Al-Ankabut ayat 2).
Ayat ini mengisyaratkan kepada orang yang telah mengaku beriman untuk tidak santai-santai saja dan mengira imannya tidak akan diuji. Padahal Allah swt memiliki skenario pengujian keimanan bagi para hamba-Nya.
Dan dalam QS. An-Nisa ayat 77 disini adalah diujinya keimanan yang baru muncul di hati Abdurrahman bin Auf dan beberapa temannya akan perintah berperang. Maka pada awalnya enggan untuk mentaati Rasul saw sebab mereka baru masuk Islam. Maka turunlah QS. An-Nisa ayat 77 ini sebagai penyemangat mereka.
Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam QS. An-Nisa ayat 77 ini meerupakan rantai cerita sejarah tentang pembuktian keimanan seseorang yang mana dia telah mengaku beriman. Jika dia membuktikan apa yang telah dia omongkan, yakni mengaku beriman, maka sungguh dia adalah orang yang beruntung. Atau dalam QS. An-Nisa ayat 77 ini disebutkan sebagai orang yang “Bertaqwa dan mereka tidak akan dianiaya sedikitpun” . Atau hanya sebatas omongan dimulut saja. Dan mereka ini lah orang yang disebut dalam QS. An-Nisa ayat 77 ini sebagai orang yang munafiq atau pengecut.









BAB III
PENUTUP
A.     Kesimpulan
Berdasarkan keterangan diatas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa sikap dari orang pengecut yang tersebut dalam QS. An-nisa ayat 77 adalah mereka yang mengaku beriman dan taat kepada Allah swt dan Rasul-Nya, malah enggan untuk melaksanakan perintah. Padahal diawal mereka sudah mengaku beriman. Maka dengan kata lain, sikap orang pengecut dalam ayat ini adalah mereka yang besar omongnya tapi kecil nyalinya. Akan tetapi perlu diingat, bahwa mereka yang disebutkan orang pengecut dalam ayat ini bukanlah orang pengecut yang tidak bertobat. Mereka dikatakan pengecut sebelum datangnya ayat ini karena posisi dan status mereka dalam Islam masih awal-awal. Sehingga wajar saja apabila mereka bersikap demikian.
B.     Saran
Sebagai seorang Muslim hendaknya taat kepada aturan agama, dan ini yang pertama. Sedangkan yang kedua, jagalah diri kita dari sikap pengecut. Yakni sikap yang hanya besar omongannya tetapi pembuktian dari apa yang diomongkan itu tidak selaras dengan apa yang telah dikatakannya.








DAFTAR PUSTAKA
Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, Jilid II, 2010, Jakarta : Lentera Abadi
Shaleh, Dahlan, H.MD. Dahlan, Asbabun Nuzul, 1985, Bandung : CV. Diponegoro
Al-Jailani, Abdul Qadir, Tafsir Jalalaini, Jilid II, 2009, Istanbul : Markaz Al-Jailani
Bahreisy, Salim dan Bahreisy, Said, Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsier, Jilid II, 1985. Surabaya : PT. Bina Ilmu




[1] Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, Jilid II, 2010, Jakarta : Lentera Abadi
[2] Shaleh, Dahlan, H.MD. Dahlan, Asbabun Nuzul, 1985, Bandung : CV. Diponegoro. Hal. 144
[3] Abdul Qadir Al-Jailani, Tafsir Jalalaini, Jilid II, 2009, Istanbul : Markaz Al-Jailani. Hal. 160-161
[4] Salim Bahreisy dan Said Bahreisy, Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsier, Jilid II, 1985. Surabaya : PT. Bina Ilmu. Hal. 480-482
[5] Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya,... Hal. 217-218

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.