Konsep Pemerintahan Menurut Al-Farabi
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Keilmuan
filsafat merupakan pokok dari semua ilmu. Dikatakan demikian karena pada waktu
dulu cabang keilmuan belumlah sebanyak cabang keilmuan seperti saat ini. Maka
tidaklah heran apabila filsafat dikeanal oleh orang sebagai pokok dari segala
ilmu pegetahuan. Para ilmuan atau ahli pada kala itu juga banyak
mengkonsentrasikan pengetahuan keilmuannya pada ilmu filsafat.
Salah
satu dari cabang filsafati yang ada yaitu dunia perpolitikan atau segala
sesuatu yang berkaitan dengan pemerintahan suatu negara. Pada cabang disiplin
ilmu ini banyak ahli pada kalangan filsafat yang mencoba untuk mensumbangsihkan
hasil pemikirannya tentang bab permaslahan konsp suatu pemerintahan yang baik.
Dari
tokoh Islam muncul lah seorang ahli filsafat yakni Al-Farabi yang dikenal oleh dunia sebagai Guru
Kedua setelah Guru Pertama yakni Aristoteles. Jikalau Aristoteles dikenal
sebagai Guru Pertama karena dia mampu untuk mengklasifikasikan, membuat
definisi, dan merumuskan suatu keilmun. Sedangkal Al-Farabi dikatakan sebagai
Guru Kedua karena dia pertama kali yang mendefinisikan batas-batas setiap
cabang pengetahuan dan merumuskan setiap ilmu menjadi sistematik.
Sebagai
pemikir besar, Al-Farabi tidak ketinggalan dalam menyusun berbagai macam kitab
yang sampai sekarang dikenal dunia sebagai suatau karya yang sangat fenomenal
dan merupakan sumbangsih besar dalam dunia edukasi. Dan salah satu dari karya
beliau adalah mengenai bidang pemerintahan. Yakni dalam kitab Madinah
Fadhilah.
Pemerintahan
merupakan hal yang penting bagi keberadaan suatu negara sebagai penggerak roda
rakyat untuk mencapai dan memperoleh kemakmuran bersama. Tanpa adanya
pemerintahan yang baik dan tersusun dengan baik, maka sudah barang tentu
cita-cita luhur bangsa tidak akan daoat diperoleh dan diraih. Itu sebatas omong
kosong belaka.
Dalam
salah satu karya beliau tentang pemerintahan ini, beliau juga mencantumakan
beberapa syarat untuk menajdi pemimpin atau kepala suatu negara. Karena secara
logika apabila pemerintahan yang diidamkan diinginkan menjadi suatu bagungan
yang kokoh dan megah, maka seorang kepala negaranya juga harus idel. Akan
menjadi tidak etis apabila pemerintah yang diidamkan adalah pemerintahan yang
baik dan kokoh, namun dalam memilih calom pengurus atau kepala negaranya adalah
seorang yang asal-asalan.
Seorang
pemimpin adalah seorang contoh-suri teladan bagi siapa saja yang dia pimpin.
Dia akan sangat mencolok dan senantiasa diikuti oleh rakyatnya apabila dia
memiliki ahklaqul karimah. Namun sebalknya, dia akan senantiasa dilirik sinis
oleh setiap rakyatnya apabila dia hanya omong besar dan kecut dalam penggerakan
roda pemerintahannya. Maka dalam hal ini, Al-Farabi memberikan beberapa gambara
tentang kriteria untuk mejadi seorang pemimpin.
Didalam
konsep Madinah Faddhilah Al-Farabi, kepala negara adalah satu-satunya
pemimpin yang memegang peran yang penting. Sebab dia adalah ibarat jantungnya
suatu pemerintahan. Apabila jantung tersebut rusak maka sudah pastilah rusak
tubuh ini. Namun apabila jantung tersebut itu sehat maka akan tegarlah tubuh
ini. Begitulah gambaran yang cocok sebagai perumpamaan pemimpin yang ideal
menurut Al-Farabi.
Seorang
kepala negara akan menjadi pusat koordinasi dari semua gerakan-peredaran yang
berjalan dalam urat suatu negeri. Jika dia mampu mengatur dengan baik jalannya
edaran tersebuat, maka akan ada harapan baik pemrintahan yang terwujudkan
adalah pemerintahan yang penuh dengan kenyamanan bagi semua komponen yang
berada didalamnya.
B. Rumusan Masalah
-
Bagaimanakah Konsep Pemerintahan menurut Al-Farabi?
C. Tujuan Makalah
-
Untuk mengetahui tentang
bagaimana Konsep Pemerintahan menurut Al-Farabi
BAB II
PEMBAHASAN
A. Biografi Al-Farabi
Abu Nashar bin Muhammad bin Mohammad bin Tarkham bin
Unzalaqah atau yang lebih dikenal dengan al-Farabi lahir di suatu kota kecil
yang bernama Wasij, wilayah Farab,termasuk kawasan Turkistan pada tahun 257
H/870 M, meninggal tahun 339 H/ 950 M. kemungkinan adalah seorang Syiah
Imamiyah.[1]
Ayahnya adalah orang Persia yang menikahi wanita Turkestan sehingga ia
terkadang disebut keturunan Persia, dan terkadang disebut keturunan Turkestan.
Masa kecilnya tidak begitu banyak dicatat dalam
sejarah. Hal ini menyebabkan masa kecil dan remajanya masih samar-samar hingga
kini. Diyakini bahwa ayahnya yang menjadi perwira tentara membuatnya sering
berpindah-pindah tempat tinggal. Sebelum menjadi seorang cendekiawan yang mapan
pun, ia dikenal sangat bersemangat mencari ilmu meski harus pindah dari satu
tempat ke tempat lain.
Ia juga terkenal sangat mumpuni di bidang kebahasaan
seperti bahasa Persia, Kurdistan, dan Turkestan. Kemudian dia pindah ke Baghdad
guna menjadi murid Abu Bisyr Mattiyus/Bisyr Matta Bin Yunus untuk belajar ilmu
logika.[2]
Di kota ini juga Al-Farabi mendapatkan kemantapan dalam bahasa Arab
melalui bimbingan seorang ahli Nahwu, Abu Bakr As-Sarraj, sebagai imbalan
pengajaran logika yang diberikan Al-Farabi padanya.
Awalnya Al-Farabi tidak mengenal bahasa Yunani dan
Syriac/Suriani, dimana keduanya adalah bahasa ilmu pengetahuan pada kala itu.
Inilah yang menjadi alasan Al-Farabi pindah ke Harran- salah satu pusat
kebudayaan Yunani di Timur Tengah untuk belajar pada Yuhanna Bin Jilan. Tetapi
tidak lama setelah ia menguasai bahasa itu, ia kembali ke Baghdad untuk kembali
mendalami lagi ilmu logika. Waktunya dihabiskan untuk memberikan pengajaran dan
mengulas buku-buku filsafat. Salah satu murid Al-Farabi yang terkenal adalah
Yahya Bin ‘Adiy.
Cendikiawan ini kemudian pindah ke Aleppo dan
mendapatkan kedudukan tinggi dari pemimpin setempat. Ialah Safiuddin
Al-Hamadani dari Bani Ikhsyid sebagai penguasa Aleppo pada 333 H. Penguasa ini
pernah mengajak Al-Farabi untuk mendampinginya menyerang Damaskus. Setelah
berhasil, Al-Farabi amat dimuliakan. Ia menghabiskan sisa hidupnya di Damaskus
dengan bertemu banyak ulama dan pemikir sebagai imbalan yang diberikan
Safiuddin kepadanya.
Dalam berbagai riwayat disebutkan bahwa banyak karya
Al-Farabi yang ditulis di masa kepindahannya dari Baghdad ke Damaskus. Periode
ini dianggap sebagai titik kematangan pemikiranAl-Farabi. Telah disebutkan diatas
tentang kedekatannya dengan pemimpin sekelas Safiuddin Al-Hamadani, dan
nampaknya hal ini menjadi pengaruh atas penulisan karyanya yang fundamental
dalam masalah politik, yaitu Al-Siyasah Al-Madaniyah (Politik Kenegaraan), dan
Ara’ul Ahlul Madinah Al-Fadhilah (Pikiran Penduduk Negeri Utama).[3]
Pada tahun 942 M, Al-Farabi berpindah ke Damaskus,
yaitu sebuah daerah di Negara Syiria akibat kekacauan dan ketidakstabilan yang
terjadi di Baghdad. Pada periode ini ia berpartisipasi dalam kehidupan istana,
sejak 942 M hingga 950 M menyusun karya besarnya tentang politik: (1)
al-Madinah al-Fadhilah (Pandangan Utama Penduduk Kota Utama) yang ditulis pada
tahun 942-943 di Bagdad dan Damaskus, (2) al-Siyasah al-Madaniyyah
(Pemerintahan Negara), mungkin disusun 948-949 di Mesir, (3) Fushul al-Madani
(Aforisme-Aforisme Negarawan), mungkin ditulis setelah membaca negarawan karya
Plato. Al-Farabi meninggal karena dibunuh oleh perampok dalam sebuah
perjalanan.[4]
Pada tahun berikutnya, yakni tahun 944 M Al-Farabi
pergi ke Mesir. Tetapi tidak diketahui tujuannya mengapa beliau pergi ke daerah
tersebut. Tapi menurut Abi-‘Usaybi’ah yang mana merupakan ahli sejarah,
mengatakan bahwa pada kala itu yang pasti Al-Farabi telah mengarang sebuah
karya mengenai politik ketika beliau berada di Mesir itu, yakni sekitar 337 H.
Pada bulsn Rajab 339 H, bersamaan 950 M, Al-Farabi
meninggal dunia di Damaskus, saat berumur 80 tahun. Ia dikebumikan di sebuah
perkuburan di bagian luar pintu selatan dan pintu samping kota tersebut. Sayf
al-Dawlah sendiri yang memberi tahu pra pembesar negeri untuk menyshalati
jenazah Al-Farabi tersebut.[5]
B. Sebutan Guru Kedua Bagi Al-Farabi
Komunitas
intelektual Muslim abad pertengahan dan bahkan mungkin pada periode modern,
menganggap Al-Farabi (259-339 H) sebagai
pemikir besar setelah Aristoteles. Tidak hanya itu beliau juga dianggap sebagai
Guru Kedua (al-Mua’lim al-Sani) yang berperan penting dalam pertumbuhan dan
pekembangan filsafat Islam.
Banyak
faktor yang menyebabkan beliau dianggap sebagai Guru Kedua tersebut. Dan
berikut faktor penyebabnya :
-
Pertama, karena kemampuannya
yang menonjol dalam bidang logika. Sehingga konon meskipun masih muda ia mampu
melampaui gurunya, yakni Matta’ Ibn Yunus, seorang ahli logika Baghdad saat
itu.
-
Kedua, karena mampu mengulas
pemikiran-pemikiran Aristoteles sehingga mudah difahami generasi yang
selanjutnya.
-
Ketiga, karena beliau mampu
menciptakan sistem filsafat yang lebih lengkap dari pendahulunya, yakni
Al-Kindi. Sehingga beberapa filosof setelahnya banyak yang berguru kepadanya,
semisal Ibnu Sina, Ibnu Ruyd, dan filosof-filosof lain setelah mereka.
-
Keempat, karena berhasil
melakukan penyempurnaan terhadap ilmu musik yang berasal dari Phytagoras dan
berhasil menciptakan beberapa kaidah atau teori musik. Sehingga beliau dinilai
sebagai orang yang menjadikan musik berdiri diatas sejumlah teori.
Pandangan
lebih komprehensif dikemukakan oleh Nashr, bahwa jikalau Aristoteles dikenal
sebagai Guru Pertama karena dia mampu untuk mengklasifikasikan, membuat
definisi, dan merumuskan suatu keilmun. Sedangkal Al-Farabi dikatakan sebagai
Guru Kedua karena dia pertama kali yang mendefinisikan batas-batas setiap
cabang pengetahuan dan merumuskan setiap ilmu menjadi sistematik.
Melihat
kontribusinya yang begitu besar dan sangat berharga bagi kekayaan khazanah
keilmuan intelektual Islam pada masanya dan generasi setelahnya, mka wajar saja
apabila diberi gelar Guru Kedua. Beliau sangat konsen dengan dunianya, sehingga
kesibukannya dalam pergumulan intelektual sampai-sampai ia tidak sempat akrab
dengan penguasa ‘Abbasyiah saat itu. Dari pergumulan itu pula ia menjadi
filosof yang produktif.
Produktifitasnya
dalam melahirkan karya-karya brilian disukung oleh situasi pada kala itu,
dimana Baghdad pada dekade paroh kedua abad 9 M dan 10 M merupakan pusat dunia
intlektual. Pada periode inilah munculnya ilmuan-ilmuan besar di berbagai
bidang, seperti Fikih, Teologi, Filsafat, Tsawuf, dan sebagainya. Sehingga
periode ini salam sejarah Islam dikenal sebagai Masa Keemasan. Namun disisi
lain Al-Farabi menyaksikan permulaan adanya gangguan terhadap kekhalifahan
‘Abbasyiah. Guncangan politik itu dilakukan oleh keturunan Persi dan Turki
dengan melibatkan Syi’ah guna menggulingkan kekuasaannya pada kala itu.
Itulah
kondisi yang ditemui oleh Al-Farabi, kondisi memuncaknya kehidupan intelektual
dan peradaban di satu sisi dan munculnya rongrongan disisi lain. Dalam kondisi
seperti inilah muncul karya-karya beliau yang meliputi filsafat, etika, dan
kemasyarakatan atau perpolitikan.
Dari
karya-karya yang beliau susun, beliau sebenarya juga terpengaruhi oleh konsep
pemikiran dari filosof Yunani, seperti Aristoteles dan Plato. Namun beliau
berusaha untuk mengharmoniskannya dengan nilai-nilai Islam. Sehingga aliran
filsafatnya disebut aliran filsafat sinkretis.[6]
C. Pemikiran tentang Asal-usul Negara dan Warga Negara
Menurut
Al-Farabi manusia merupakan warga negara yang merupakan salah satu syarat
terbentuknya negara. Oleh karena manusia tidak dapat hidup sendiri dan selalu
membutuhkan bantuan orang lain, maka manusia menjalin hubungan-hubungan
(asosiasi). Kemudian, dalam proses yang panjang, pada akhirnya terbentuklah
suatu Negara. Menurut Al-Farabi, negara atau kota merupakan suatu kesatuan
masyarakat yang paling mandiri dan paling mampu memenuhi kebutuhan hidup antara
lain : sandang, pangan, papan, dan keamanan, serta mampu mengatur ketertiban
masyarakat, sehingga pencapaian kesempurnaan bagi masyarakat menjadi mudah.
Negara yang warganya sudah mandiri dan bertujuan untuk mencapai kebahagiaan
yang nyata, menurut al-Farabi, adalah Negara Utama.
Menurutnya,
warga negara merupakan unsur yang paling pokok dalam suatu negara. Keberadaan
warga negara sangat penting karena warga negaralah yang menentukan sifat, corak
serta jenis negara. Menurut Al-Farabi perkembangan dan/atau kualitas negara
ditentukan oleh warga negaranya. Mereka juga berhak memilih seorang pemimpin
negara, yaitu seorang yang paling unggul dan paling sempurna diantara mereka.
Negara utama dianalogikan seperti tubuh manusia yang sehat dan utama, karena
secara alami, pengaturan organ-organ dalam tubuh manusia bersifat hierarkis dan
sempurna.
Ada
tiga klasifikasi utama:
-
Pertama, jantung. Jantung
merupakan organ pokok karena jantung adalah organ pengatur yang tidak diatur
oleh organ lainnya.
-
Kedua, otak. Bagian peringkat
kedua ini, selain bertugas melayani bagian peringkat pertama, juga mengatur
organ-ogan bagian di bawahnya, yakni organ peringkat
-
Ketiga, seperti : hati, limpa,
dan organ-organ reproduksi. Organ terbawah (organ ketiga) ini hanya bertugas
mendukung dan melayani organ dari bagian atasnya.[7]
D. Pandangan Politik: Masyarakat, Negara, dan Pemimpin
Dua
buah karya Al-Farabi itu memiliki keasamaan dengan Republik karangan Plato.
Memang dalam soal-soal kemasyarakatan, diantara filososf-filosof Yunani, Plato
memiliki pengaruh besar kepada filosof-filosof Islam. Seperti Plato, Al-Farabi
mengungkapkan bahwa bagian-bagian suatu negeri sangat erat hubungannya satu
sama lain dan saling berkerja sama.[8]
Di
sisi lainnya Al-Farabi juga punya kesamaan pendapat dengan Aristoteles dalam
hal individu. Yaitu individu mempunyai watak sosial yang tidak akan mampu
memenuhi semua kebutuhan dan menggapai kebahagiaan tanpa sosialitas.
Al-Farabi
mengupas tentang kemampuan praktis manusia seperti kehendak (will) dan hasrat
(desire). Hasrat dipahami sebagai kesukaan manusia pada rangsangan
inderawi/khayali. Ini terjadi pada manusia dan hewan. Sedangkan kehendak
memerlukan pertimbangan dan pemikiran khusus berlaku pada manusia saja. Dari
dasar ini kemudian membentu pola interaksi antar-individu dalam masyarakat.
Interaksi
ini dibina secara minor melalui individu kemudian akan terbentuk seperti
anggota-anggota badan dimana apabila salah satunya menderita maka anggota
lainnya akan merasa juga. Kebahagiaan pribadi harus ada di dalam masyarakat
yang baik. Hampir sejalan dengan itu, Dr. A. Lysen, seorang sosiolog mengatakan
bahwa kesatuan-kesatuan itu , seperti halnya jiwa manusia dapat diketahui dengan
cara :
-
Pertama, dari kelakuan-kelakuan
yang merupakan penjelmaannya yang lahir/jasadi.
-
Kedua, dengan pengalaman batin
dalam ruh manusia sebagai perseorangan sendiri.
Dengan interaksi ini kemudian membentuk kerjasama
sosial, termasuk politik di dalamnya. “Negeri Utama” Al-Farabi adalah konsep
filsafat politik utopis (khayalan) yang ingin mengungkap bentuk ideal-paripurna
sebuah negara yang baik.[9]
Dalam karya beliau ini, beliau memberikan gambaran
kondisi suatu negara yang ideal. Dan ciri khas Negeri Utama Al-Farabi ialah
sebagai berikut :
-
Kepemimpinan
Raja-Filosof
Plato benar-benar mempengaruhi pemikiran Al-farabi
dalam memadankan negara dengan manusia yang memiliki organ-organ dengan
fungsinya masing-masing. Bagian terpenting adalah otak (kepala) namun harus
dikendalikan oleh hati. Maka dalam konteks negara, yang terpenting adalah
pemimpinnya. Dan secara hierarkhis dibantu oleh yang lain, sebagai mana jantung
dan organ lainnya membantu kinerja otak.
Ia kemudian membuat kulifikasi ideal untuk seorang pemimpin seperti :
·
Sempurna seluruh anggota
badannya.
·
Baik daya pemahaman dan
pemikiran, serta kuat daya ingatnya.
·
Tinggi intlektualitasnya.
·
Pembicaraannya mudah
dimengerti, tidak berbelit-belit.
·
Pecinta pendidikan dan menyukai
pengembangan ilmu.
·
Tidak rakus dalam hal makanan,
minuman, dan wanita.
·
Pecinta kejujuran, kebenaran
dalam jucapan dan prilaku dan membenci kebohongan.
·
Berwibawa, Berjiwa besar dan
berbudi luhur.
·
Tidak memandang penting
kekayaan dan kesenangan duniawi; semuanya itu dianggap sebagai fasilitas.
·
Pecinta keadilan dan pembenci
perbuatan zalim.
·
Tidak sukar untuk diajak
menegakkan keadilan, tetapi sulit untuk menyetujui tindakan keji dan kufur.
·
Kuat pendiriannya (memiliki
komitmen tinggi) terhadap hal-hal yang menurutnya harus dikerjakan, tanpa ada
rasa takut atau berjiwa lemah dan kerdil.[10]
Ditambahkannya lagi sebuah kriteria yang amat
filosofis, yaitu Aql Fa’al /Akal Aktif, sebuah kemampuan akal yang dimiliki
seorang pemimpin yang telah mendapatkan kebahagiaan hakiki dan senang berhubungan dengan alam rohani. Kebahagiaan hakiki yang dimaksudkan olehnya
terpengaruh dari konsep Tasawuf Al-Farabi, yaitu Tasawuf Eudemonistik
(kebahagiaan) sebagai serapan dari pemikiran Aristoteles tentang kajian
Eudaimonia (bahagia).
Franz Magnis Suseno menjelaskan tentang konsep
ini, yaitu kita hendaknya hidup dan bertindak sedemikian rupa sehingga kita
mencapai hidup yang baik, yang bermutu. Hidup kita akan menjadi lebih baik bila
kita mampu menggapai akhir tujuan hidup kita. Al Farabi menambahkan dalam makna
kebahagiaan itu sebagai “…Jika jiwa manusia menjadi sempurna di dalam wujud
dimana ia tidak membutuhkan, dalam eksistensinya, kepada suatu materi.”
Ia berhasil menyelesaikan permasalahan Eudaimonia
Aristoteles tentang “kehidupan yang bermutu” dengan menambahkan konsep
Asketisme Tasawuf tentang “peniadaan diri.” Kajiannya di atas itu memiliki
konsekuensi, apabila ingin menggapainya maka harus dilakukan dengan dua
kehendak, yaitu tindakan fikir dan tindakan fisik. Tidak semua jiwa mampu
menggapai martabat kebahagiaan hakiki. Hanya jiwa yang suci dan bersih saja
yang mampu meraihnya. Jiwa yang suci mampu menempuh alam ghaib, melmpaui alam
materi menuju alam kesaksian hakiki dan keindahan abadi. Inilah yang disebut
sebagai Ittishal (berhubungan dengan Allah).
Kemampuan seperti itu memang dimiliki secara
sempurna oleh seorang Nabi. Jika tiada seorang Nabi sebagai seorang kepala
negara, maka dapat digantikan oleh seorang yang dipandang memiliki sifat Nabi,
yaitu filosof. Karena, minimalnya para filososf memiliki Akal Fa’al, sekalipun
tidak bisa mendapat wahyu. Terlihat sekali bahwa ia mengambil Par Excellence
seorang pemimpin ideal dengan sosok Nabi/Rasulullah. Berarti telah terjadi
Islamisasi dalam pemikiran seorang Raja-Filosof-nya Plato yang ia usung.
-
Tatanan
Organik yang Harmonis Sebuah Negeri
Kerjasama sosial dari segi cakupannya dapat dibagi menjadi tiga yaitu :
1) Kerjasama antara penduduk dunia secara umum (Ma’murah),
2) Kerjasama dalam satu komunitas (Ummah),
3) Kerjasama antara penduduk negeri (Madinah).
Ia melihat bahwa negeri adalah tempat terbaik
bagi manusia untuk mencapai kesempurnaannya. Kebahagiaan dalam sebuah negeri
dapat dengan mudah dicapai karena sikap kooperatif para penduduknya sebagai
tatanan organik di dalamnya. Untuk dapat melihat bentuk ideal Negeri Utama
secara utuh, Al-Farabi menyebutkan negeri-negeri yang berlawanan/negasi dari
Negeri Utama, seperti :
-
Negeri-Negeri
Bodoh (Al-Madinah Al-Jahilah)
Negeri bodoh didefinisikan sebagai negeri yang
penduduknya tidak mengenal kebahagiaan (hakiki). Kebahagiaan ini tidak pernah
terlintas dalam hati penduduknya. Sekalipun diingatkan tentang kebahagiaan
hakiki itu mereka akan mempercayainya.
Di dalam bentuk ini masih terbagi lagi dalam beberapa jenis seperti :
·
Negeri Kebutuhan Dasar
(Al-Madinah Al-Dharuriyah), sebuah negeri yang penduduknya tidak peduli dengan
kebahagiaan hakiki. Mereka berkumpul hanya untuk kebahagiaan materiil dan
kebutuhan primer.
·
Negeri jahat (Al-Madinah
Al-Nadzalah), sebuah negeri yang penduduknya mencukupkan diri pada kekayaan dan
kepemilikan materiil. Segala kekayaan yang dimiliki hanya untuk memenuhi
kenutuhan badani. Tipe negeri yang seperti ini adalah Negeri Kebutuhan Dasar
yang ekstrim.
·
Negeri Rendah (Al-Madinah
Al-Khassah), Negeri yang penduduknya berorientasi pada kenikmatan dan
kesenangan. Masyarakatnya lebih mementingkan hiburan dan hura-hura.
·
Negara kehormatan, adalah
sebuah negeri yang penduduknya berorientasi pada gengsi dan kehormatan publik.
Setiap penduduknya berusaha mendapatkan pujian secara lisan dan perbuatan demi
kemuliaan diri. Terdapat sedikit “kebaikan” dari tipe negeri ini, karena adanya
penghargaan atas kelebihan orang lain. Tetapi karena kelebihan ini tidak
mengerucut hingga kebahagiaan hakiki, hanya sebatas pada kegilaan terhadap
penghormatan, maka ini dapat membawanya pada bentuk negeri tiranik.
·
Negeri Tiranik/Despotik
(Al-Madinah Al-Taghallub), sebuah negeri yang penduduknya menyintai penaklukan
dan dominasi menjadi dambaan.Warga negeri terkonsentrasi pada masalah “Cinta
Kekuasaan.” Sifat ini membuat penduduknya menjadi keras, tak segan menumpahkan
darah dan memperbudak orang lain. Kebutuhan-kebutuhan dipenuhi melalui
eksploitasi kepada pihak yang kalah. Penguasa negeri ini pastilah memiliki
kelebihan dalam kekuatan dan kelicikan.
·
Negeri Demokratis (Al-Madinah
Al-Jama’iyah), negeri ini setiap penduduknya mendapatkan keleluasaan dan
dibiarkan melakukan apapun yang dikehendakinya. Hukum yang dianut menunjukkan
bahwa sama sekali tidak ada orang yang lebih baik daripada orang lain. Penguasa
mengikuti kehendak orang-orang yang dikuasainya. Al-Farabi menyebut bentuk
negeri ini sebagai yang paling terpuji diantara Negara-Negara Bodoh lainnya.
Semua orang menyukainya karena segala kehendak dapat tersalurkan dalam negeri ini.
Iapun meyakini dalam bentuk negeri ini akan banyak lahir orang-orang bijak.
Meskipun sedemikian, orang-orang bijak ini tidak akan menjadi penguasa karena
rakyat Negeri Demokratis lebih akan memilih/mencari penguasa yang memudahkan
mereka menyalurkan kehendak. Sehingga konsep Raja-Filosof tak dapat diterapkan.
Tetapi bentuk Negeri Demokratis dapat menjadi transisi menuju Negeri Utama yang
sebenarnya.
-
Negeri-Negeri
Pembangkang / Korup / Fasik (Al-Madinah Al-Fasiqah)
Negeri-negeri ini mengenal Tuhan dan kehidupan
akhirat, tetapi mereka gagal dalam mengamalkannya. Ditambah lagi perbuatan
mereka sama seperti penduduk Negeri-negeri Bodoh. Penduduknya menolak untuk
mengamalkan apa-apa yang mereka percayai. Kecondongan sikapnya pun lebih kepada
keburukan dibandingkan dengan kebaikan.
-
Negeri-Negeri
yang Berubah (Al-Madinah Al-Mubaddilah)
Bentuk bagi negeri-negeri yang penduduknya
mula-mula memiliki pandangan dan pikiran yang sama dengan penduduk Negeri
Utama. Tetapi kemudian mengalami kerusakan/kekeliruan dalam pandangan tentang
Tuhan dan Akal Aktif. Sehingga kemudian Negeri-negeri ini berubah menjadi
negeri sesat.
-
Negeri-Negeri
yang Sesat (Al-Madinah Al-Dhalalah)
Negeri-negeri ini penduduknya mengetahui tentang
pandangan yang benar dan perbuatan baik, tetapi kemudian sesat karena seperti
telah disebutkan di atas. Hal itu disebabkan oleh pemimpinnya yang menganggap
dirinya nabi (nabi palsu) dan kemudian menyesatkan banyak penduduk melalui
kata-kata dan perbuatan.[11]
E. Kota Utama (al-Madinah al-Fadhilah)
Pada
lingkupnya yang lebih khusus tentang kota ini, al-Farabi sebenarnya
memformulasikan gagasan kota idealnya dengan bertumpu pada dua konsep utama.
- Pertama, konsep tentang pemimpin dan
yang dipimpin, atau konsep kepemimpinan.
- Kedua, konsep kebahagiaan. Penjelasan awal bab khusus
tentang al-madinah al-fadilah-nya dalam kitabnya As-Siyasah al-Madaniyah cukup
memberikan ketegasan perihal hal ini, bahwa manusia hidup memerlukan seorang
guide (pemimpin, mualim) untuk menemukan kebahagiaan mereka.
Dengan
begitu, kerangka dasar yang membangun gagasan al-Madinah al-Fadilah berangkat
dari konsep kepemimpinan, di mana untuk dapat membentuk sebuah kota yang
sedemikian rupa harus mucul seorang pemimpin yang memiliki keutamaan penuh.
Yamani
menyebut pemimpin macam ini sebagai pemimpin tertinggi atau unqualified ruler,
penguasa tanpa kualifikasi. Yang kemudian dari konsep ini (kepemimpinan)
al-Farabi melilitkan konsep kebahagiaan padanya. Bahwa tujuan manusia menjalani
hidupnya adalah untuk meraih kebahagiaan. Dan untuk menghidupkan dua konsep
utama ini, al-Farabi memasukkan prasyarat-prasyarat perihal hal ini. Bagaimana
misalnya kecenderungan manusia. Bahwa manusia akan selalu mencoba mengarahkan
hidupnya untuk mencapai kebahagiaan.
Selain
itu, manusia juga memiliki kecenderungan lain berupa keterikatan mereka dalam
sebuah komunitas, seperti yang dikatakan Aristoteles bahwa manusia adalah Zoon
Politikon, secara alamiah mereka tidak akan lepas dari kehidupan sosial dan
oleh karena itu mereka terus berpolitik untuk bertahan hidup. Agar komunitas
ini dapat menjadi sebuah komunitas unggul diperlukanlah seorang pemimpin yang
memiliki keutamaan.
Mengenai
kepemimpinan, Al-Farabi mengkategorikan orang menjadi tiga pemimpin tertinggi,
orang yang memimpin dan dipimpin, dan orang yang sepenuhnya dipimpin. Dan kota
utama dipimpin oleh seorang pemimpin tertinggi.
Pemimpin
macam itu adalah orang yang sempurna secara fisik dan mentalnya. Dalam konsep
Sunni derajat pemimpin semacam ini hanya dapat dimiliki oleh seseorang dengan
tingkatan Nabi. Sebagaimana yang elah disebutkan diatas. Tentang syarat-syarat
menjadi pemimpin Negara Utama.
Meski
dalam sejarahnya, kehidupan politik para Nabi pun pada umumnya mengalami sebuah
kondisi yang dapat dikatakan dilematis, bahkan hampir semuanya tidak pernah
berhasil membentuk sebuah tatanan masyarakat yang ideal dan dengan
kecenderungan memiliki umat yang durhaka.
Sampai
pada Nabi terakhir, Muhammad SAW, konsep kepemimpinan itu seperti baru
menemukan bentuknya. Dengan keberhasilan Muhammad SAW menyatukan masyarakat
Arab, agaknya dapat disebut bahwa apa yang Muhammad SAW bentuk adalah sebuah
kota utama di bawah kepemimpinannya. Dengan begitu pada dasarnya setiap Nabi
memiliki potensi yang sama untuk membangun sebuah kota ideal, dengan kualitas
yang mereka miliki. Dan sekali lagi, satu-satunya Nabi yang berhasil
mengaktualkan potensi itu adalah Muhammad SAW.
Sedang
dalam pandangan Syiah, kualitas pemimpin yang dapat membentuk sebuah kota
utama, tidak hanya pada level para Nabi tetapi juga Imam-imam, yang meski dalam
sejarah belum terbukti bahwa ada seorang Imam yang dapat membentuk sebuah kota
utama. Namun, pada kepercayaan mereka, kota utama itu pada masanya nanti akan
dapat dibentuk oleh Imam Mahdi (Muhammad al-Mahdi al-Muntazar, Imam terakhir
mereka). Menurut al-Farabi, ketika sebuah kota utama terbentuk, tugas para
pemimpin ini adalah mengatur jalannya aktivitas penduduknya agar tetap pada
kapasitas masing-masing. Agar asosiasi yang tercipta pun berjalan harmonis.
Dengan
begitu dalam sebuah kota utama, spesialisasi penduduknya memang harus ada dan
seorang pemimpin harus dapat mengatur ini dengan baik. Tujuan kota utama adalah
kebahagiaan. Baik secara individual maupun komunal, kota utama harus memberikan
kebahagiaan bagi penghuninya. Pemimpin dalam kota ini memiliki tugas untuk
membimbing dan menunjukkan warganya pada kebahagiaan itu.
Keunikan
pemikiran Al-Farabi ialah konten eskatologis dalam pemikiran politik Negeri
Utama. Dia berpendapat bahwa pada dasarnya hanya penduduk Negeri Utama saja
yang mampu menggapai kebahagiaan, tetap hidup setelah mati sebab mereka telah
mengaktualkan jiwa intelektual mereka yang terpisah dari badan.
Menurutnya
juga ada dua kemugkinan nasib Negeri Bukan-Utama secara eskatologis. Pemimpin
dan warga negeri yang Jahil (Bodoh), yang sadar membuat kejahatan dan selalu
bernafsu kenikmatan semu, jiwanya akan menderita selama-lamanya setelah
kematian. Namun bagi mereka yang tak pernah mengetahui kebahagiaan yang
sejati/hakiki, setelah mati akan terlahir kembali sebagai binatang dan akhirnya
akan musnah tanpa bekas. Jiwa- jiwa orang yang berpengetahuan tidaklah kekal,
hanya jiwa orang yang baik akan hidup abadi.
Maka kesimpulannya adalah
Negeri Utama ini harus mengenal Tuhan, Akal Aktif (Aql Fa’al) seorang
Raja-Filosof, bersandar pada tata nilai kebajikan yang harmonis, dan
sadar/percaya akan dunia eskatologis (setelah mati).[12]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Konsep pemerintahan yang
diinginkan oleh Al-Farabi sebagai mana yang beliau namai dengan Al-Madinah Al-Fadhilah
yaitu sebuahpemerintahan yang dipimpin oleh orang yang benar-benar layak
menjadi pemimpin dengan beberapa persyaratan yang telah disebutkan diatas.
Beliau mengajukan hal tersebut karena seorang pemimpin adalah bagaikan jantung
dari tubuh seseorang. Apabila jantung tersebut rusak, maka tubuh pun akan rusak
atau lemah. Menurut beliau ghal tersebut tidak diinginkan. Maka sebab itu
beliau menyebutkan tentang kondisi idealnya seorang pemimpin.
Dalam suatu pemerintahan juga
hendaknya dipimpin oleh satu orang saja dan satu orang pemimpin sekaligus
menjadi publik figur dan penggerak (otak) dari roda pemerintahan yang sedang
berdiri. Memang secara tidak langsung beliau terpengaruhi oleh
pemikiran-pemikiran dari para filosof Yunani, namun yang menarik dari beliau
adalah beliau mampu mengharmoniskan atau mengkombinasikan dengan nilai-nilai.
Sehingga konsep pemerintahan yang beliau ajukan dan tulis dala kitabnya juga
berlandaskan nilai-nilai Islam.
Tujuan dari Al-Madinah
Al-Fadhilah adalah kebahagian. Dengan kata lain, kota utama dijadikan pusat
peradaban yang nantinya akan mempengaruhi kota-kota cabang yang ada
disekitarnya. Sehingga konsep kemakmuran tersebut dapat dirasakan bagi semua
warga negara yang bersangkutan.
B. Saran
Dalam menjalankan roda pemerintahan hendaknya
disusun dengan perencanaan yang matang. Dan perencanaan yang matang ini bisa
diperoleh dengan melihat hasil koreksi tahun-tahun yang sebelumnya. Bukan
berarti reshufle kabinet juga ganti aturan. Maka jika terus seperti ini
akan menjadikan negara menjadi banyak PR baru.
DAFTAR PUSTAKA
-
BUKU
Haddad, Khalid,
2009, 12 Tokoh Pengubah Dunia, Jakarta : Gema Insani Press
Hanafi, Ahmad, 1990, Pengantar
Filsafat Islam, Jakarta :
Bulan Bintang
JWM, Bakker,
1978, Sejarah Filsafat dalam Islam, Yogyakarta : Kenisius
Nourozzaman, Shiddiqi, 1986, Tamaddun Muslim : Bunga Rampai Kebudayaan
Muslim, Jakarta : Bulan Bintang
Subhi-Ibrahim,
M., 2012, Al-Farabi
: Sang Perintis Logika Islam, Jakarta : Dian Rakyat
-
INTERNET
chrome-extension://mhjfbmdgcfjbbpaeojofohoefgiehjai/
FANSHOBI-FU.pdf
http://agil-asshofie.blogspot.co.id/2011/06/pemikiran-politik-al-farabi.html
[3] https://amriwahidayat.wordpress.com/2015/07/02/pemikiran-politik-al-farabi-sebuah-pemikiran-utopis-tentang-negeri-utama/ diakses pada 02/06/2017 pukul 22 : 35 wib
[5] chrome-extension://mhjfbmdgcfjbbpaeojofohoefgiehjai/ FANSHOBI-FU.pdf diakses pada 03/06/2017 pukul 08 : 49 wib
[6] Nourozzaman Shiddiqi, Tamaddun Muslim : Bunga Rampai Kebudayaan Muslim,
(Jakarta : Bulan Bintang, 1986). Hal. 27
[10]
https://amriwahidayat.wordpress.com/2015/07/02/pemikiran-politik-al-farabi-sebuah-pemikiran-utopis-tentang-negeri-utama/
diakses pada 03/06/2017 pukul 09 : 45 wib
[11]
Subhi-Ibrahim, M., Al-Farabi : Sang Perintis Logika Islam, Jakarta :
Dian Rakyat, 2012. Hal. 76
Tidak ada komentar: